REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rudi Agung
Kalau koruptor ditembak mati sebelum diadili, barangkali negeri ini aman sejahtera. Sayang, itu cuma utopis. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi di negeri yang hukum bisa dibeli.
Sila tanya napi atau mantan napi mekanisme kehidupan penjara. Bagaimana, uang menjadi tuhan di sana. Peredaran narkoba di penjara, asyiknya mereka bisa nyabu di bui. Bagaimana kemirisan moral penegakan hukum dipertontonkan setiap harinya.
Lalu, sila tanya keluarga korban ihwal kebiadaban Densus menangani mangsanya. Penanganan koruptor, akhlak aparat hukum di kehidupan penjara, dan penanganan teroris oleh Densus: menjadi potret kelam penegakan hukum di negeri ini.
Hari-hari belakangan, kita kembali digegerkan kekejian berdarah. Dari pelbagai sumber, sedikitnya ada 121 korban kebiadaban yang tewas di tangan Densus. Entah berapa anak-anak yang menjadi yatim. Entah bagaimana nasib janda dari para korban.
Hak asasi manusia hanyalah sebuah interpretasi yang diartikan sesuai kepentingan. Bahkan, buku Islam dan Al Quran pernah dijadikan barang bukti kejahatan teroris. Masya Allah. Betapa sakitnya hati umat Muslim. Betapa sabarnya umat ini.
Sampai kini, publik dikelabui standar ganda makna teroris. Seolah teroris hanya pantas disematkan bagi pemeluk agama Islam. Sebagai contoh, pelaku peledakan bom Alam Sutra yang pelakunya non pribumi dan non Islam, tidak disebut teroris.