REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Petisi online yang mendesak pencabutan Nobel Perdamaian dari Aung Sang Suu Kyi merupakan bentuk keprihatian bersama. Sebagai penerima Nobel Perdamaian, Suu Kyi seharusnya bisa menjaga sikap dan perilakunya, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai perdamaian.
"Kalau ngomong mbok ya dipikir dulu.Apalagi tokoh sebesar Suu Kyi," ujar artis sekaligus politikus dari Partai Golkar Nurul Arifin kepada Republika.co.id di Jakarta Convention Center (JCC), Rabu (30/3).
Persoalan ini menyangkut tokoh global. Keputusan perihal pemberian atau pencabutan Nobel Perdamaian pun menjadi hak preogratif Komite Nobel. Munculnya desakan pencabutan nobel tersebut tidak bisa serta langsung membuat Komite Nobel menarik Nobel Perdamaian dari Suu Kyi. Namun bukan berarti upaya ini tidak ada artinya.
"Ini imbauan agar tokoh yang diidolakan di tingkat global harus lebih mempunyai keberpihakan atau kehati-hatian dalam berbicara," kata Nurul.
Menurut dia, petisi itu sah-sah saja mengingat bentuknya sebagai gerakan moral. Nurul menyebut Suu Kyi mestinya menunjukkan sikal negarawan.
"Setelah masuk ke kabinet, kita pikir akan menjadi ibu negara seperti Megawati Soekarnoputri atau Sonia Gandhi tapi kenyatannya tidak. Jadi mungkin kenegarawanannya masih kurang," ujarnya.
Dia pribadi menilai kepedulian Suu Kyi terhadap Muslim di Myanmar pun masih minim atau bahkan mungkin tidak memikirkan kaum Rohingya sama sekali.