Ahad 27 Mar 2016 03:45 WIB

Akademisi: Tak Perlu Revisi UU LLAJ

Demonstran tergabung dalam Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) melakukan aksi unjukrasa didepan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (22/3).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Demonstran tergabung dalam Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) melakukan aksi unjukrasa didepan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (22/3).

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Pakar transportasi dari Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno menegaskan Undang-Undang Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tak perlu direvisi.

"Aplikasi teknologi di sektor transportasi bukan hal baru, termasuk sistem 'online'. Mengenai pengembangan teknologi sudah ada dalam UU LLAJ," katanya di Semarang, Sabtu (26/3).

Menurut dia, sistem daring (online) sudah diterapkan dalam perkeretaapian, seperti pemesanan tiket, kemudian teknologi juga digunakan untuk melacak lokasi kereta api (KA) sehingga teknologi bukan barang baru. Namun, kata Kepala Laboratorium Transportasi Unika Soegijapranata itu, pengaplikasian teknologi dalam sektor transportasi tidak bisa dilakukan secara sembarangan dan harus menaati aturan.

"Contohnya, taksi. Sudah diatur syarat-syaratnya apa saja, seperti harus punya lahan pengendapan kendaraan atau pool. Di pool, kelaikan kendaraan diperiksa setiap hari sebelum berangkat," katanya.

Kendaraan yang dioperasikan, kata dia, harus pula diuji kir setiap enam bulan sekali dan pengemudinya juga harus memenuhi kualifikasi, seperti kepemilikan SIM A Umum dan ada pengaturan waktu kerja. "Taksi Uber dan Grab boleh saja, tetapi harus memenuhi aturan. Usaha yang dijalankan dalam bidang aplikasi atau transportasi? Kalau transportasi, ya, harus memenuhi aturan yang ditetapkan," katanya.

Usaha transportasi, kata dia, menyangkut nyawa orang sehingga harus memenuhi aturan keselamatan, berbeda jika hanya melakukan usaha di bidang aplikasi yang tidak berhubungan dengan bidang transportasi. Djoko mengakui penyedia jasa transportasi daring seperti Uber dan Grab mematok tarif lebih murah dibanding taksi konvensional karena tidak melalui proses yang ditempuh pengusaha angkutan pelat kuning.

"Tidak perlu punya pool, membayar pajak, dan sebagainya. Ini persoalannya. Seharusnya, Uber dan Grab ini harus melalui proses ini. Makanya, bukan UU-nya direvisi, namun aturannya yang harus ditegakkan," katanya.

Transportasi umum, kata dia, memang semestinya didorong agar tidak gagap teknologi sehingga aplikasi digunakan untuk memudahkan penggunanya, tetapi harus tetap menaati aturan-aturan yang sudah ditetapkan. "Sebab, negara berhak melindungi setiap warga negaranya dalam bertransportasi dengan selamat, aman, dan nyaman," kata dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement