Sabtu 26 Mar 2016 20:04 WIB

Ini Dugaan Pelanggaran Densus 88 Atas Kematian Siyono

Rep: Wisnu Aji Prasetiyo/ Red: Ilham
Jenazah terduga teroris Siyono saat diangkat dengan kurung batang
Foto: Antara
Jenazah terduga teroris Siyono saat diangkat dengan kurung batang

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menduga Datasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri melakukan berbagai pelanggaran saat menangkap Siyono, terduga teroris yang meninggal dalam penanganan Densus.

Siyono yang merupakan warga Klaten tersebut ditangkap oleh Densus 88 pada 8 Maret 2016, lalu. Namun, Staf Divisi Hak Sipil dan Politik Kontras, Satrio Wirataru mengatakan tim Densus menangkap Siyono tanpa dibekali surat perintah penangkapan.

"Densus hanya mengatakan ada urusan utang piutang sehingga harus membawa Siyono dari kediamannya," kata Satrio di kantor Kontras, Jakarta, Sabtu (26/3).

Menurut Satrio, saat penangkapan tersebut terdapat sejumlah personel bersenjata laras panjang untuk menggeledah. "Usai penggeldahan, satu sepeda motor dan majalah TK (taman kanak-kanak) disita," kata Satrio.

Namun, usai penangkapan, lanjut dia, keluarga Siyono kaget mendapat kabar dari seserong yang mengaku polisi. Polisi tersebut menyampaikan kabar bahwa Siyono sudah meninggal dunia. "Keluarga pun diminta mengambil jenazah di Jakarta," katanya.

Kontras, kata Satrio, menemukan sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh tim Densus. Pertama, kata dia, tim Densus 88 diduga memanfaatkan kondisi keluarga Siyono yang buta huruf. Ayah Siyono, Marso, diminta polisi menandatangani surat tidak akan menuntut terkait kematian Siyono.

"Orang tua Siyono juga diintimidasi pihak Polres dan juga kades. Saat itu orang tua diminta menandatangani surat pertanggungnjawaban dan diminta mengikhlaskan," kata Satrio. (Kontras Minta Kapolri Selidiki Densus 88).

Kesalahan lainnya, lanjut dia, saat membawa Siyono hanya dikawal satu orang. Menurut Satria, satu orang pengawal sangat aneh mengingat Densus mengidentifikasi Siyono adalah terduga teroris.

"Padahal SOP mengawal itu dua orang untuk tahanan biasa. Kalau teroris SOP tentu lebih tinggi," kata Satrio.

Kontras pun berharap Kapolri dapat mengambil tindakan tegas terhadap anggota tim Densus yang terbukti melakukan pelanggaran HAM.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement