Kamis 24 Mar 2016 12:38 WIB

Sanksi Bagi Penjual Orangutan Meningkat

Rep: Sonia Fitri/ Red: Nur Aini
 Petugas mengikat tali kendaraan berisi Orangutan saat akan dilepasliarkan dari kementerian kehutanan dan Lingkungan Hidup di Jakarta, Selasa (9/2).  (Republika/Tahta Aidilla)
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Petugas mengikat tali kendaraan berisi Orangutan saat akan dilepasliarkan dari kementerian kehutanan dan Lingkungan Hidup di Jakarta, Selasa (9/2). (Republika/Tahta Aidilla)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Tiga pelaku perdagangan Orangutan terbukti bersalah melanggar Undang-Undang No 5/1990 melakukan tindak pidana satwa liar pada sidang putusan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Pekanbaru pada 22 Maret 2016.

Majelis hakim  yang diketuai oleh HAS Pudjoharsoyo menghukum dua terdakwa pelaku perdagangan orangutan yakni Ali bin Ismail dan Awaluddin dengan pidana penjara masing-masing selama dua tahun enam bulan dan denda Rp 80 juta subsider tiga bulan kurungan penjara. Sementara satu terdakwa lain, Khairiroza bin Sofyan dihukum dengan pidana dua tahun dan denda 80 juta subsider tiga bulan kurungan penjara.

"Hukuman yang dijatuhkan ini relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan hukuman pada kasus-kasus tindak kejahatan satwa liar di Riau yang terjadi pada 10 tahun terakhir," kata Manajer Program Sumatera Tengah WWF Indonesia Wishnu Sukmantoro dalam rilis, Kamis 24/3).

Sebelumnya, rata-rata vonis yang dijatuhkan untuk penjahat satwa liar berkisar satu tahun penjara. WWF pun mengapresiasi putusan yang diberikan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru terhadap tiga pelaku perdagangan Orangutan Sumatera tersebut.

Meski begitu, ia mengingatkan soal tingginya angka perburuan dan perdagangan satwa liar dilindungi di Indonesia, khususnya di Riau. Penegak hukum harus konsisten memberikan hukuman maksimal yang dapat memberikan efek jera kepada pelaku dalam upaya mencegah kepunahan satwa langka Indonesia.

Tiga pelaku perdagangan Orangutan sebelumnya ditangkap oleh Ditreskrimsus-Polda Riau di Pekanbaru pada 7 November 2015. Petugas menyita tiga bayi Orangutan yang dibawa dari Tamiang-Aceh dan  diperkirakan semuanya berumur di bawah satu tahun.

Saat ini ketiga Orangutan tersebut telah berada di bawah perawatan Pusat Karantina Orangutan-Sumatran Orang Conservation Program (SOCP) di Desa Batu Mbelin, Kecamatan Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara.

WWF Indonesia  bersama Koalisi Kebijakan Konservasi (Pokja Konservasi) mendorong agar Revisi UU No 5/1990 dapat dibahas dalam Prolegnas tahun 2016. Terlebih mengingat Orangutan Sumatera adalah jenis orangutan yang paling terancam di antara dua spesies orangutan yang hidup di Indonesia.  

Ancaman hukuman dalam UU yang masih terbilang rendah menjadi salah satu titik lemah sulitnya mencegah kasus perdagangan dan perburuan satwa yang dilindungi. Saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah melakukan konsultasi publik rancangan Undang-Undang Perubahan UU No. 5/1990 tersebut di beberapa tempat.

Ketua Forum Orangutan Indonesia (FORINA) Herry D Susilo turut mengapresiasi vonis yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru. “Kami berharap semua mengintensifkan upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana satwa liar, termasuk orangutan mengingat tindak kejahatan ini cenderung meningkat,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement