REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia (YLPKI) Jawa Timur menilai kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan merupakan bentuk pengingkaran terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Ketua YLPKI Jatim, Said Utomo mengatakan UUD 1945 menyebutkan bahwa negara wajib memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia, namun dalam prakteknya itu tidak dilakukan.
"Kebijakan menaikkan iuran BPJS Kesehatan bagi peserta mandiri atau pekerja bukan penerima upah (PBPU) adalah kebijakan yang kontraproduktif dan tidak memiliki empati di tengah lesunya perekonomian dan menurunnya daya beli masyarakat," katanya di Surabaya, Rabu (23/3).
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan menyatakan iuran BPJS Kesehatan bagi peserta mandiri naik per 1 April 2016.
Rencana pemerintah menaikkan iuran BPJS kesehatan itu meliputi peserta Mandiri BPJS Kesehatan untuk kelas I dari Rp 59.500 menjadi Rp 80.000, kelas II dari Rp 42.500 menjadi Rp 51.000 dan kelas III dari Rp 25.500 menjadi Rp 30.000.
Iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) serta penduduk yang didaftarkan pemerintah daerah juga mengalami kenaikan, dari sebelumnya Rp 19.225 menjadi Rp 23 ribu. Namun kenaikan iuran bagi peserta PBI tersebut sudah berlaku sejak 1 Januari lalu.
Menurut Said Utomo, BPJS hingga kini belum memiliki standar pelayanan minimal yang jelas, sehingga hampir di semua lini pelayanan BPJS masih sangat mengecewakan masyarakat. Oleh karena itu, lanjutnya, masyarakat yang merasa dirugikan oleh kebijakan BPJS Kesehatan bisa mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) sebagai bentuk penolakan terhadap kenaikan iuran BPJS.
"Masyarakat berhak melakukan judicial review untuk membatalkan putusan presiden. Kenaikan ini bisa dianggap bertentangan dengan UUD 1945 karena tanggung jawab pemerintah memberikan layanan kesehatan yang layak," katanya.