REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR - Sejumlah pengemudi taksi di Denpasar, Bali mengemukakan sulitnya mendapatkan penghasilan sebagai sopir taksi. Bahkan tidak sedikit dari mereka berhenti menjadi pengemudi dan beralih ke bidang lain.
"Tapi yang pindah jalur ke taksi online juga banyak, termasuk saya sendiri," kata pengemudi Uber, Sukarna, kepada Republika, Rabu (23/3).
Hal itu dikemukakannya menanggapi aksi demo para sopir taksi di Depasar Bali, Rabu (23/3). Dia bisa memahami perasaan teman-temannya sesama sopir taksi, karena dalam kondisi sekarang ini, penumpang sangat sepi dan penghasilan para sopir taksi jadi menurun.
Sulitnya menjadi sopir taksi konvesional dikemukakan warga asal Majalengka itu, sebenarnya bukan saja karena adanya persaingan dengan taksi-taksi online. Melainkan sebut dia, karena permintaan konsumen dan daya belinya yang menurun.
Sebelum beralih menjadi sopir taksi online sebutnya, dia mengalami dimana penghasilannya sebagai sopir taksi konvensional turun lebih dari 50 persen.
Jika sebelumnya sehari dia bisa memperoleh Rp 1 juta, dalam dua bulan berturut-turut dia hanya dapat Rp 300.000 saja sehari dan itu sebutnya sudah untung.
Mengapa berat menjadi sopir taksi konvensional? Menurut Sukarna, karen ada kewajiban para sopir menyetor ke perusahaan sampai 70 persen dari hasil narik taksi dan dari 30 persen miliknya, itu pun harus dikeluarkan untuk membeli BBM.
"Terus saya pulangnya bawa apa. Padahal itu sudah kerja dari jam delapan pagi sampai malam," katanya.
Dikatakannya, kalau dia ngetem atau menunggu panggilan, sulit mendapatkan penumpang. Tapi kalau harus jalan, muter-muter, akan habis banyak BBM dan dia juga tidak mau kalau sopir taksi mirip dengan supir angkot.
"Makanya saya putuskan pindah saja ke taksi online, yang lebih praktis, lebih disukai para konsumen," katanya.