Senin 21 Mar 2016 15:04 WIB

Kemenhub Beri Dua Opsi Bagi Uber dan Grab

Rep: nursyamsi/ Red: Taufik Rachman
Mulai Rabu (3/2), Grab Taxi melakukan re-branding dengan nama Grab.
Foto: Antara
Mulai Rabu (3/2), Grab Taxi melakukan re-branding dengan nama Grab.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mendukung pemanfaatan teknologi dalam transportasi karena akan memudahkan masyarakat.

Plt Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Sugihardjo mengatakan, penggunaan aplikasi teknologi dalam sektor transportasi merupakan keniscayaan.

"Dari dulu sampai sekarang kan perhubungan sangat mendukung aplikasi karena itu suatu keniscayaan. Era sekarang itu tidak mungkin meninggalkan IT," ujarnya di kantor Kemenhub, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (21/3).

Ia mencontohkan bagaimana Menteri Perhubungan Ignasius Jonan berhasil mereformasi perkeretaapian dengan mengedepankan teknologi sewaktu masih menjabat sebagai dirut KAI, seperti pengadaan tiket berbasis daring.

"Jadi, kita sangat mendukung, persoalannya bukan aplikasi, kalau online kita dukung, segala sesuatu yang mudahkan masyarakat enggak boleh dihambat," ungkapnya.

Namun, persoalan yang terjadi saat ini lebih pada aspek legal dan ilegal. Sebagai negara hukum, Kemenhub hanya mematuhi aturan bahwa segala yang ilegal tidak diperbolehkan, termasuk sektor transportasi.

Ia melanjutkan, para pengusaha transportasi daring, seperti Taksi Uber Taksi dan Grabcar sudah menyadari bahwa selama ini tidak berada pada jalur yang benar. Kemenhub sedang berupaya mencarikan solusi terbaik agar persoalan ini bisa segera diselesaikan.

"Saya ingin garis bawahi memang sudah diinfokan mereka bentuk badan, seperti koperasi, tapi sampai hari ini, baik di Kemenhub dan di Dishub DKI, belum ada permohonan pengurusan izinnya," lanjutnya.

Ia menyampaikan, ada dua opsi pilihan bagi Uber dan Grab. Yang pertama, jika ingin menjadi operator transportasi, harus mengurus perizinan sebagai operator transportasi.

"Kalau izin operator angkutan opsinya dua, bisa taksi bisa nontaksi. Kalau taksi harus dengan argometer, tarif ditetapkan pemerintah daerah. Kalau non (taksi) bentuknya rental," katanya menambahkan.

Selain itu, juga harus mematuhi aturan yang berlaku, seperti KIR, asuransi, dan pengemudi dengan SIM umun.

Apabila tetap keukeuh sebagai provider online, pria yang juga menjabat sebagai sekretaris jenderal Kemenhub itu mengatakan tidak apa-apa, tapi harus bekerja sama dengan operator taksi yang tidak mempunyai sistem aplikasi.

Disinggung mengenai tenggat waktu, Kemenhub tidak pernah membatasi waktu bagi Uber dan Grab. "Sebelum mereka punya izin, mereka tetap ilegal, itu aja," katanya menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement