REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Model pendampingan PNPM tidak bisa lagi dijadikan model pendampingan desa. Pasalnya, dengan adanya UU No.6/2014 tentang Desa, banyak perubahan signifikan dalam proses pembangunan desa.
Sejak diberlakukannya UU Desa, desa mempunyai kewenangan untuk menentukan sendiri pengelolaan dana desa yang dikucurkan langsung oleh pemerintah pusat.
Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa Kabupaten Ponorogo, Drs H Najib Susilo, MM dalam surat tertulis yang dikirimkan ke Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, menyatakan bahwa dengan diberlakukannya UU Desa, model pendampingan PNPM sudah tidak bisa lagi diterapkan.
"Kalau PNPM merupakan program dari pusat dan desa terikat oleh aturan-aturan yang ada di PTO sehingga desa harus ikut pendamping, untuk sekarang uang sudah ada di desa sumbernya bukan hanya dari dana desa, melainkan ada alokasi dana desa (ADD), bagi hasil pajak, PADesa dan dimasukkan di APBDesa yang pengelolaannya merupakan kewenangan desa bersangkutan," ujar Najib.
Desa yang menjadi subjek pembangunan, menurut Najib, memiliki kewenangan penuh dalam menentukan nasibnya sendiri, apalagi dengan karakteristik yang berbeda kebutuhan akan pendamping antara desa satu dan desa yang lainnya menjadi berbeda.
"Sehingga, dibutuhkan pendamping yang memiliki pemahaman tentang desa dan kebutuhan desa, sesuai dengan karakternya masing-masing," paparnya.
Sementara itu, Ketua Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Pemantau Pendamping Desa (JP2D) Jawa Barat Heri Kurniawan menyatakan bahwa peranan dan fungsi para pendamping desa memiliki banyak perbedaan dengan pendamping PNPM.
Berdasarkan Peraturan Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi No 3 Tahun 2015, menurut Heru, pendamping desa adalah kegiatan untuk melakukan tindakan pemberdayaan masyarakat melalui asistensi, pengorganisasian, pengarahan, dan fasilitasi desa.
Sedangkan, tujuan pendampingan desa meliputi peningkatkan kapasitas, efektivitas, dan akuntabilitas pemerintahan desa dan pembangunan desa. Kedua, peningkatkan prakarsa, kesadaran, dan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan desa yang partisipatif. Ketiga, peningkatkan sinergi program pembangunan desa antarsektor yang terakhir terkait pengoptimalan aset lokal desa secara emansipatoris.
"Kalau eks PNPM ini merasa paling pengalaman mendampingi desa, menunjukkan bahwa mereka adalah mental pekerja bukan mental pemberdaya. Karena, jiwa pemberdaya adalah jiwa yang menghargai orang lain bukan memaksakan kehendak," ujar Heri.
Di sisi lain, Heri juga menyoal keinginan eks PNPM yang menginginkan menjadi pendamping desa secara otomatis tanpa melalui jalur tes. PNPM, menurut Heri, perlu menyelesaikan dana bergulir yang dikelola PNPM yang jumlahnya mencapai miliaran rupiah bagi setiap kabupaten/kota, keberadaanya hingga saat ini tidak pernah jelas. Tentu, hal itu yang mesti di ungkap dan diusut oleh pihak yang berwenang di wilayahnya.
"Dengan ketidaktransparanan dana bergulir yang telah dikelola bertahun-tahun oleh para pelaku PNPM, itu sudah merugikan negara beserta rakyatnya," katanya.
Akibat tidak adanya transparansi dana bergulir yang dikelola PNPM, banyak para eks PNPM yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi penyalahgunaan dana PNPM. Salah satunya adalah penyitaan rumah dan tanah milik mantan bendahara PNPM Nanga Pinoh, Rosita Nur, yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Sintang pada Senin (2/6).
Penyitaan tersebut dipimpin oleh Kasi Pidsus Kejari Sintang Coky Caolus didampingi beberapa staf dan aparat kepolisian. Penyitaan tersebut disertai dengan pemasangan papan plang bertuliskan, "Tanah dan bangunan ini telah disita dalam perkara tindak pidana korupsi penyalahgunaan dana PNPM Kabupaten Melawi".