REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Center for Indonesian National Policy Studies (CINAPS) Guspiabri Sumowigeno mengatakan perkembangan wacana Revisi Undang-Undang Pilkada, tajam melihat obyek yang dekat, tetapi kurang mampu melihat jauh. Terutama menyikapi persyaratan pencalonan melalui jalur perseorangan dalam Pilkada.
Guspiabri mengatakan banyak tokoh terpandang sepertinya terjebak pada kepentingan untuk memuluskan langkah seseorang di Pilkada satu daerah. Juga banyak yang mengambil kesimpulan, lanjut Guspiabri fenomena munculnya calon-calon perseorangan dalam Pilkada akan menuju pada de-parpolisasi.
“Pemerintah, DPR RI, elite politik dan akademisi, dalam melihat revisi UU Pilkada harus melihatnya dalam perspektif membangun demokrasi di negara ini kedepan. Indonesia bukan hanya Jakarta,” katanya, saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (18/3).
UU Pilkada yang baru kelak, menurut Guspiabri harus mencegah munculnya seorang figur yang antidemokrasi melalui jalur alternatif atau perseorangan. Ia mengatakan memudahkan munculnya calon perseorangan belum tentu akan menghasilkan perkembangan demokrasi kearah yang lebih baik.
“Hal ini karena calon perseorangan bisa melenggang ke arena pemilihan tanpa melalui proses seleksi sebagaimana seseorang yang maju karena dicalonkan parpol,” katanya.
Guspiabri menjelaskan parpol mengemban banyak tugas dalam mengembangkan politik dan demokrasi. Ia mengatakan seseorang yang dicalonkan parpol untuk menduduki suatu jabatan politik telah melalui seleksi yang ketat dan berjenjang dilingkungan internal parpol.
“Karenanya cenderung memiliki wawasan ideologis mengenai negara yang lebih luas, menguasai peta politik dengan lebih baik, teruji dalam berinteraksi dengan masyarakat. Yang terpenting, seorang calon dari parpol dimunculkan setelah proses penelitian oleh kepemimpinan partai ditingkat daerah dan bermuara ditingkat nasional yang bersifat kolektif kolegial,” tambahnya.