REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keinginan pemerintah merevisi Undang Undang (UU) Pemberantasan Terorisme masih menjadi polemik di masyarakat. Salah satu kritik dari pemberantasan terorisme tersebut adalah paradigma pemerintah yang masih mengatikan aksi teror yang berwajah agama.
Aktivis Hak Asasi Manusia, Heru Susetyo mengatakan kenyataanya paradigma pemerintah yang terlalu Islamophobic lah yang membuat masyarakat, khususnya umat Islam mengkritik keras pendekatan pemberantasan terorisme ini.
"ISIS menjadi fokus revisi UU Pemberantasan Terorisme dunia, kenyataanya banyak juga kelompok teroris yang tidak terikat pada kelompok agama," kata dia kepada Republika.co.id, Rabu (16/3).
Ia mengungkapkan, pembicaraan revisi UU Pemberantasan Terorisme kembali ramai setelah bom Thamrin. Kemudian, isu ini kembali mengarah ke ISIS. Disadari bersama bahwa ISIS merupakan bagian dari terorisme dunia yang saat ini perlu diwaspadai.
Identitas Islam mereka melekat disana, walaupun cara mereka tidak islami. Namun, menurut dia, masyarakat juga harus diberipemahaman bahwa teroris juga tidak terikat pada kelompok agama. Ada yang tujuannya separatisme, atau kebencian karena kelompok dan etnis.
"Kenyataanya itu semua bisa berujung pada tindakan teror. jadi tidak kemudian terus disempitkan pada terorisme agama khususnya berwajah Islam," ujar Pendiri Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Indonesia ini.
Ini lah menurut dia, yang perlu diperhatikan, UU Pemberantasan Terorisme jangan terlalu sempit. Dengan memperlebar paradigma ini, ia yakin perdebatan terkait pemberatasan terorisme dapat diminimalisir termasuk dalam revisi UU Pemberantasan Teror.