Rabu 16 Mar 2016 16:29 WIB

Warga Jakarta Masih Buang Air Besar Sembarangan

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Ilham
Suasana kepadatan pusat kota terlihat dari ketinggian gedung daerah Slipi, Jakarta Barat, Senin (18/5).
Foto: Rpublika/Tahta Aidilla
Suasana kepadatan pusat kota terlihat dari ketinggian gedung daerah Slipi, Jakarta Barat, Senin (18/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selain sulitnya akses air bersih, masalah sanitasi yang buruk juga menjadi persoalan umum yang dihadapi masyarakat perkotaan di Indonesia. Termasuk Jakarta, yang merupakan Ibu Kota sekaligus pusat ekonomi di negara ini.

Manajer Wahana Visi Indonesia (WVI) Wilayah Jakarta Asih Silawati mengatakan, sekarang ini diperkirakan ada sekitar 53 juta penduduk perkotaan di Indonesia yang tidak memiliki akses sanitasi yang layak. Kondisi itu kemudian diperparah lagi dengan gaya hidup sebagian dari mereka yang tidak sehat, seperti kebiasaan buang air besar sembarangan (BABS).

"Bahkan, menurut data kami, saat ini ada 37.602 rumah tangga di DKI Jakarta yang masih buang air besar sembarangan," kata Asih, Rabu (16/3).

Sepanjang 2013-2015, yayasannya mencoba menerapkan program sanitasi total berbasis masyarakat (STBM) sebagai solusi alternatif untuk mengatasi masalah BABS di Jakarta. Ada dua lokasi yang menjadi sasaran program tersebut, yaitu Kelurahan Penjaringan dan Semper Barat di Jakarta Utara.

Salah satu upaya WVI untuk menyetop kebiasaan BABS masyarakat di dua kelurahan itu dengan membangun biofilter komunal. Biofilter adalah teknologi penampungan tinja alternatif lewat empat ruang penyaringan bawah tanah yang dibangun di dekat rumah penduduk. Dengan teknologi tersebut, tinja diurai menggunakan bantuan bakteri dan mesin blower.

"Biofilter sangat cocok diterapkan untuk lingkungan permukiman padat penduduk di wilayah perkotaan yang tidak memiliki lahan untuk membangun septic tank," kata penemu teknologi biofilter, Abie Wiwoho.

Menurut Abie, satu unit biofilter mampu memfasilitasi penampungan tinja untuk empat hingga delapan rumah tangga. Keuntungan lainnya, biaya yang dikeluarkan warga untuk membangun biofilter, efisiensinya mencapai hingga 90 persen dibandingkan membeli produk penyaring tinja impor yang harganya mencapai Rp 3 jutaan per unit.

"Pembuatan biofilter sebenarnya sangat mudah. Masalahnya sekarang, masyarakat setempat mau merawat fasilitas itu atau tidak?" kata Abie lagi.

Tenaga spesialis WVI, Mita Sirait menuturkan, saat ini ada tiga unit biofilter komunal yang sudah beroperasi di Penjaringan dan Semper Barat, Jakarta Utara. Ketiganya mampu menampung tinja dari 24 keluarga yang mendiami dua kelurahan tersebut.

"Dulu, sebelum dibangunnya biofilter, tinja yang dibuang warga Semper Barat di toilet rumah mereka langsung mengalir ke got atau selokan yang ada di pinggir jalan kampung. Itu jelas sangat tidak sehat buat warga setempat, terutama anak-anak," kata Mita.

Melalui pendekatan STBM, kata dia, perilaku hidup masyarakat yang mendiami permukiman padat dan kumuh, seperti di Semper Barat, dimodifikasi agar menjadi bersih dan sehat. Pendekatan tersebut sejalan dengan program Universal Access yang digulirkan pemerintah dengan proyeksi bahwa pada 2019 mendatang 100 persen masyarakat Indonesia sudah memperoleh sanitasi yang layak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement