REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tewasnya terduga teroris, Siyono (39 tahun) menjadi catatan penting terhadap pembahasan revisi Undang Undang (UU) Pemberantasan Terorisme. Menurut mantan wakil kepala Badan Inteleje Negara (BIN) As'ad Said Ali, kasus Siyono harusnya menjadi penguatan perlunya revisi UU Pemberantasan Terorisme, bukan justru sebaliknya.
Dia mengungkapkan, hingga kini belum ada SOP (Standar Operasional Prosedur) yang dijelaskan secara rinci dalam UU yang justru akan membahayakan.
"Hingga kini tidak ada SOP yang jelas bisa menjadi rujukan publik untuk mengetahui bagaimana proses penangkapan teroris, di UU perlu diatur," katanya kepada Republika.co.id, Selasa (15/3).
Selama ini, kata dia, masyarakat mencurigai Densus 88 melakukan tindakan semena-mena. Padahal dalam proses penangkapan, bisa jadi pelaku teror melakukan aksi nekat akibat paham jihad yang salah. Aksi nekat ini bisa saja memancing aparat untuk melakukan tindakan di luar standar operasional.
"Inilah yang saya katakan, harusnya revisi UU ini lebih diuraikan jelas, bagaimana seharusnya tahapan penangkapan," ujar mantan wakil ketua PBNU ini. Dengan demikian, bila ada kejadian yang sama dikemudian hari, bisa dilihat apakah proses penangkapan tersebut melanggar hukum atau tidak.
Terkait revisi UU Pemberantasan Terorisme yang justru memberikan kewenangan lebih terhadap aparat, As'ad mendukung hal itu. Sebab pemberian kewenangan lebih juga tetap diperlukan, sebagai tindakan pencegahan teror lebih awal. Misalnya, orang bisa ditindak secara hukum dalam persiapan melakukan teror.
Proses pengembangan atau penindakannya harus berdasarkan informasi dan bukti yang telah dikumpulkan. Sehinga tidak langsung ditangkap, tapi harus dicari dulu informasi dan buktinya. Bukti permulaannya, misalkan bukti-bukti permulaan sudah tercapai, kemudian ditangkap tentu itu tidak masalah.
Jikalau informasinya belum lengkap apalagi masih sumir, kemudian dilakukan penangkapan, dia mengungkapkan, akan menajdi masalah. Informasi persiapan teror misalnya, pernah mengikuti pelatihan di luar negeri dengan kelompok tertentu sekian lama, bergabung dengan gerakan teror, kemudian memiliki bukti sketsa, rencana atau bahan perakit bom.
"Jadi revisi UU Pemberantasan tindak pidana terorisme justru harus diperjelas, dengan demikian masyarakat dapat melihat apakah ada pelanggaran prosedur setiap operasi penangkapan teroris," ujarnya.