REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) memboikot produk Israel dalam Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa (KTTLB) di Jakarta pekan lalu, mengalami kendala di antara beberapa negara anggota. Salah satu kendala tersebut adalah ketergantungan negara-negara anggota OKI pada kebijakan AS dan sekutunya.
Ketua MUI bidang Luar Negeri KH Muhyidin Junaidi mengatakan, kebijakan memboikot produk Israel tersebut sebagai respons dari kebiadaban Israel. Keputusan tersebut tidak berarti apa-apa bila pimpinan OKI ternyata tidak serius melaksanakannya.
"Sulit untuk direalisasikan di lapangan karena sebagian besar anggotanya masih sangat bergantung pada kebijakan AS dan mitranya," katanya kepada Republika.co.id, Sabtu (13/3).
Selama AS masih menjadi pendukung dan penyelamat Israel, sulit bagi negara-negara anggota OKI bersatu memboikot produk Israel. Kondisi konflik di Timur Tengah saat ini sulit bagi anggota OKI yang bergabung di bawah koalisi atau menjadi sekutu AS menekan kekuatan ekonomi Israel.
Apalagi, anggota OKI juga sudah tidak bersatu lagi akibat konflik bersenjata dan perang terbuka, bahkan saling membunuh sesama Muslim di mana senjatanya dari Israel. Karena itu, di dunia yang sudah sangat global dengan prinsip Borderless community, OKI harusnya bukan sekadar merapatkan barisan.
Namun, yang paling penting melupakan perbedaan atas dasar sektarianisme demi kekuatan umat. Sekat-sekat sempit pemisah dengan slogan jangka pendek antara anggota OKI harus dihilangkan dan persepsi harus disamakan.
"Kita harus mewaspadai strategi musuh dengan cara proxy war, di mana pelaku utamanya adalah umat Islam, bukan umat lain. Konspirasi musuh sedang dimainkan dengan format baru beraroma kesetaraan dan keadilan," ujarnya.