Jumat 11 Mar 2016 05:45 WIB

Akar Masalah BPJS Kesehatan

Seorang warga menunjukkan kartu BPJS Kesehatan miliknya.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Seorang warga menunjukkan kartu BPJS Kesehatan miliknya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah persoalan masih dihadapi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Dari mulai kesenjangan antara suplai pendanaan dan pengeluaran hingga ketidaksiapan struktur fasilitas kesehatan. Semua itu bisa mengganggu pelayanan terhadap pasien peserta jika tidak diatasi 

Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional Ahmad Ansori mengatakan, salah satu persoalan dasar dalam BPJS yakni ketidaksesuaian suplai dengan biaya yang dikeluarkan untuk membayar klaim. BPJS mengusulkan agar iuaran premi bagi penerima bantuan iuran (PBI) sebesar Rp 36 ribu per bulan namun yang ditetapkan pemerintah hanya Rp 23 ribu.  "Ini akar masalahnya," ujarnya dalam diskusi yang digelar Aliansi Jurnalis Indonesia, FES dan DJSN kemarin di Jakarta. 

Namun begitu, kata Ansori, berdasarkan Undang-Undang, semua kekurangan tersebut telah ditanggung oleh pemerintah. DPR dan pemerintah telah menyepakati dana talangan yang bisa digunakan jika uang BPJS tidak mencukupi untuk membayar.

Menurutnya, kekurangan BPJS Kesehatan itu sudah bisa diprediksi dari awal. Ia pun tak mau menyebutnya defisit lantaran semua perhitungan yang telah diperhitungkan. Ansori lebih melihatnya sebagai ketidakcukupan.  "Sistem ini tidak rugi, tapi persoalannya apakah mau seperti ini terus?" tanyanya.

Ansori pun berpandangan prinsip gotong royong yang seharusnya menjadi dasar dalam sistem BPJS Kesehatan tidak berjalan semestinya. Saat ini, banyak peserta BPJS yang sakit mendaftar.  Padahal, orang-orang yang masih sehat juga mendaftar. Sehingga memberikan subsidi silang bagi yang sakit.  "Kita targetkan sampai seluruh penduduk terdaftar pada 2019, suplainya harus mendekat," kata Ansori.

Ia juga menyoroti keterlambatan pembayaran BPJS. Menurutnya, keterlambatan bisa menyebabkan pelayanan berkurang. Persoalan lain yang tak kalah penting yakni kesiapan dari fasilitas kesehatan.

Jumlah peserta BPJS, kata dia, tumbuh dengan cepat. Sementara pertumbuhan rumah sakit tak bisa mengimbangi. AKibatnya bisa berpengaruh terhadap penumpukan pasien.

Kepala Grup Penelitian dan Pengembangan BPJS Kesehatan Togar Siallagan mengatakan, peningkatan rumah sakit juga harus diimbangi kualitas. Karena BPJS ingin agar  RS kerja sama memenuhi standar akreditasi yang telah ditetapkan.  Ia juga menyoroti perilaku peserta BPJS yang bisa mengganggu pelayanan. "Begitu sembuh sudah tidak lagi bayar," tuturnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement