Kamis 10 Mar 2016 16:35 WIB

Bawaslu Usul Pemimpin Daerah yang Lakukan Politik Uang Diskualifikasi

Rep: Neni Ridarineni/ Red: Bayu Hermawan
Politik Uang (ilustrasi)
Foto: Justice for Sale Alabama
Politik Uang (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) RI mengusulkan dalam revisi UU Pilkada, adanya sanksi tegas kepada pihak pelaku politik uang dengan sanksi adminitrasi diskualifikasi bagi calon pemimpin daerah yang terbukti melakukan politik uang.

"Sanksi diskualifikasi ini bisa menimbulkan efek jera daripada pidana. Karena calon tidak diberi kesempatan lagi untuk ikut melanjutkan pertarungan dalam  Pilkada," kata Komisioner Bawaslu RI Endang Wihdatiningtyas di Yogyakarta, Kamis (10/3).

Menurutnya,  Undang- Undang Pilkada dirasa belum mampu untuk menindak tegas praktik politik uang. Padahal  dalam Pilkada 2015 lalu. Badan Pengawas Pemilu(Bawaslu) RI mendapatkan ribuan laporan seputar praktik politik uang di sejumlah Pilkada daerah.

"Dalam UU Pilkada no 8 2015 tidak ada sanksi hukum yang menindak pelaku yang terbukti melakukan politik uang. Hal ini membuat Bawaslu dan Polri kesulitan memproses laporan tindakan politik uang," jelasnya.

Sanksi pidana untuk menjerat pelaku politik uang hanya menggunakan UU KUHP antara lain KUHP pasal 149 ayat 1 yang berbunyi barang siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan umum dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya atau supaya memakai hak itu untuk mencari cara tertentu diancam dengan pidana paling lama empat tahun.

Karena itu untuk mencegah tindakan politik uang kembali terjadi pada perhelatan pilkada 2017 mendatang, Bawaslu RI bersama KPU mengusulkan adanya revisi UU Pilkada yakni menjatuhkan sanksi tegas kepada pihak pelaku politik uang.

"Kami ingin ada sanksi berat yakni sanksi administrasi diskualifikasi bagi calon pemimpin daerah yang terbukti melakukan politik uang," katanya.

Ia mengatakan Bawaslu sekarang sedang  mengajukan usulan perubahan tersebut ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kemenkumham dan Kemendagri.

Lebih lanjut dia mengatakan belum maksimalnya pengawasan Pilkada di daerah salah satunya karena pendanaan untuk pengawasan Pilkada dari APBD. Seharusnya dibiayai oleh APBN agar seluruh ketentuan yang ditetapkan bisa dilaksanakan merata diseluruh Indonesia.

"Karena itu  kami sedang berusaha agar pilkada kedepan bisa pakai APBN supaya pelaksanaannya diseluruh Indonesia lebih terstandar," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement