Rabu 09 Mar 2016 20:01 WIB

Revisi UU Terorisme Dikhawatirkan Jadi Alat Politik

Rep: Halimatus Sa'diyah/ Red: Esthi Maharani
Teroris
Teroris

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dan DPR telah sepakat merevisi Undang Undang tentang tindak pidana terorisme pascaserangan teror Thamrin pada Januari lalu. Pengamat terorisme dari Institute For Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengingatkan agar revisi UU tersebut jangan sampai digunakan sebagai alat politik.

Dia menjelaskan, adanya tambahan kewenangan Polri untuk melakukan penangkapan sementara pada terduga teroris dikhawatirkan dapat digunakan sebagai alat penguasa untuk membungkam lawan politik atau orang maupun kelompok yang dinilai kontra produktif.

Tak hanya itu, Fahmi menilai, kewenangan Polri untuk menindak dini terduga teroris membuka peluang salah tangkap yang lebih lebar. Dia khawatir, kewenangan istimewa itu disalahgunakan sehingga menangkap orang-orang yang melawan kebijakan pemerintah dengan tuduhan terlibat aktivitas terorisme.

"Kekhawatiran ini bahkan lebih besar daripada ketakutan masyarakat terhadap ancaman teror itu sendiri. Terlebih lagi adanya fakta bahwa penegakan hukum kita masih lemah dan diskriminatif disana-sini," ujarnya pada Republika, Rabu (9/3).

Oleh karenanya, Fahmi mendesak agar dalam pembahasan revisi UU Terorisme, pemerintah dan DPR lebih fokus pada upaya penguatan kerjasama antarlembaga yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan terorisme. Hal ini agar kerja dan kewenangan lembaga-lembaga tersebut tidak tumpang tindih, apalagi melanggar hak-hak warga negara.

Fahmi sendiri sepakat bahwa terorisme adalah kejahatan luar biasa yang butuh penanganan ekstra. Karenanya, sambung dia, lewat revisi UU terorisme, pemerintah, aparat keamanan dan penegak hukum diharapkan tak sekedar menjadi pemadam kebakaran semata, seperti selama ini.

"Revisi UU Terorisme harus mampu menjawab pertanyaan seputar standar pemberantasan terorisme yang ideal. Pertanyaan ini mencakup patokan normatif apa yang bisa membatasi kerja pemberantasan terorisme, institusionalisasi pengaturan kerja, pertanggungjawaban fungsi, hingga bagaimana negara menyediakan sarana reparasi mekanis atas dampak kelalaian kerja pemberantasan terorisme," papar Fahmi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement