REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Ricard Djami mengatakan, perluasan bandara udara di provinsi berbasis kepulauan itu masih terkendala lahan.
"Pemerintah pusat siap mengalokasikan anggaran untuk perluasan bandara, tetapi lahan untuk perpanjangan landasan pacu tidak siap. Selalu saja ada masalah," kata Ricard Djami kepada Antara di Kupang, Selasa (8/3).
Dia mengemukakan hal itu berkaitan dengan keluhan maskapai penerbangan soal landasan pacu bandara-bandara perintis di NTT yang masih pendek sehingga menyulitkan pendaratan pesawat.
Bandara Wunopito di Lembata, Gewayang Tanah, di Larantuka, misalnya, sudah bisa didarati pesawat jenis fokker tetapi tidak bisa mengangkut penumpang sesuai kapasitas pesawat karena landasan pacu pendek.
Menurut dia, pihaknya sudah sering berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten agar mengalokasikan dana bagi pembebasan lahan. Namun, ada juga masyarakat yang menolak untuk memberikan lahan mereka untuk dibeli pemerintah.
"Itulah kesulitan yang dihadapi pemerintah dalam proses pengembangan bandara-bandara perintis di NTT," kata Ricard Djami.
Provinsi kepulauan Nusa Tenggara Timur (NTT) saat ini memiliki 14 bandara udara. Dari 14 bandara tersebut, satu bandara berstatus bandara internasional yaitu Bandara El Tari yang terletak di Kupang ibu kota Provinsi NTT, sedangkan 13 bandara lainnya adalah bandara domestik.
"Di Pulau Flores ada enam bandara yaitu Bandara Komodo di Labuan Bajo, Frans Sales Lega di Ruteng, Soai di Bajawa, H Hasan Aroeboesman di Ende, Frans Seda di Maumere dan Gewayantana di Larantuka," katanya.
Sementara di Pulau Sumba ada dua bandara yaitu Bandara Tambolaka di Waikabubak dan Umbu Mehang Kunda di Waingapu. Sedangkan di Pulau Timor juga ada dua bandara yaitu El Tari di Kupang dan Haliwen di Atambua.
Khusus untuk pulau-pulau Alor, Lembata, Rote dan Sabu masing-masing mempunyai satu bandara yaitu bandara Mali di Kalabahi, Wunopito di Lewoleba, Lekunik di Rote dan Tardamu di Sabu.