REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) provinsi Sumut, Abu Bakar mengaku tidak sependapat dengan penerapan kantong plastik berbayar.
Abu menilai, pengelolaan dan pengalokasian uang hasil dari penjualan plastik berbayar tersebut masih belum jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. "Nggak jelas uangnya kemana untuk siapa dan untuk apa. Kalau untuk pelaku usaha, itu kan pembodohan sekali. Lucu itu," kata Abu saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (4/3).
Abu mengatakan, pengelolaan hasil dari penjualan plastik berbayar harus jelas. Jika memang uang tersebut dialokasikan untuk program Corporate Social Responsibility (CSR) terkait lingkungan, maka pengawasannya pun harus jelas.
"Jangan anggap Rp 200 itu sedikit. Konsumen kan jutaan orang. Dikali sejuta berapa. Nah, uang itu kemana belum jelas. Ini yang jadi PR (Pekerjaan Rumah) pemerintah," ujarnya.
Abu pun menilai, penerapan plastik berbayar ini tidak akan terlalu berdampak pada penggunaan plastik oleh masyarakat. Apalagi melihat fakta bahwa masih banyak masyarakat yang tidak segan untuk membayar plastik seharga Rp 200.
"Beli plastik, dibawa ke rumah juga jadi limbah. Kalau belanja bawa tas kan juga jadi memberatkan konsumen," kata Abu.