REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Willem Rampangilei menegaskan, pemerintah daerah harus membentuk posko yang dilengkapi media center saat terjadi bencana, agar informasi terpercaya bisa keluar dari satu pintu, sehingga tidak menimbulkan kecemasan di tengah masyarakat.
"Informasi yang simpang siur saat gempa 7,8 SR kemaren, merupakan salah satu catatan kita. Ke depan, kita harus punya prosedur standar terkait hal ini, supaya masyarakat tidak cemas karena informasi yang salah," katanya dalam rapat koordinasi evaluasi penanggulangan bencana gempa dan tsunami di gubernuran Sumbar, Kamis (3/3).
Ia mengatakan, posko itu harus dilengkapi dengan struktur komando yang jelas, yang langsung aktif saat terjadi bencana. "Mungkin, wali kota atau bupati bisa langsung menjadi pucuk komando. Ini harus segera dilaksanakan," katanya.
Willem menegaskan itu, setelah mendapatkan laporan dari sejumlah kepala daerah yang hadir dalam rapat koordinasi itu, bahwa kepanikan warga Sumbar, bukan terjadi diakibatkan gempa, tetapi karena informasi yang simpang siur di media televisi.
Wali kota Padang, Mahyeldi Ansharullah dalam rapat tersebut mengatakan, 20 menit pertama setelah gempa, sebenarnya tidak ada kepanikan yang terjadi. Masyarakat yang melakukan evakuasi, berjalan dengan baik.
Namun, setelah ada informasi di televisi tentang bahaya ancaman tsunami, air laut yang surut dan informasi lain yang simpang siur, masyarakat tiba-tiba menjadi panik.
"Jalur evakuasi yang semula bisa dilewati meskipun cukup padat, menjadi macet. Ke depan, informasi yang disajikan kepada masyarakat, seharusnya jelas, tepat dan tidak menimbulkan kepanikan," katanya.
Selain soal informasi, dalam rapat itu juga dibahas tentang shelter bantuan BNPB yang tidak kunjung dibangun di beberapa kabupaten dan kota di Sumbar, padahal telah dilakukan peletakan batu pertama.