REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mutilasi menjadi masalah serius di negeri ini. Bukan hanya tipologi kejahatannya yang sadis, namun juga jumlah korbannya tak sedikit dan tak teridentifikasi.
Untuk itu, perlu upaya serius menangani kasus mutilasi. "Dalam perspektif hukum, sanksi yang dijatuhkan kepada tersangka kasus tindak pidana pembunuhan dengan mutilasi masih terbilang kabur atau sanksi yang dijatuhkan kerap kali berbeda-beda," ujar Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto kepada Republika.co.id, Ahad (28/2).
Menurut dia, KUHP tidak mengatur ketentuan khusus tentang tindak pidana mutilasi. Yang ada hanya tentang tindak pidana pembunuhan pada umumnya, sesuai yang diatur dalam Pasal 338 KUHP dan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Dalam konteks ini, kasus mutilasi disamakan dengan penanganan kasus pembunuhan biasa pada umumnya.
Sementara itu, dia melanjtkan, UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, tidak mengenal terminologi mutilasi. Namun hanya mengenal terminologi mati (meninggal). "Padahal mutilasi dengan meninggal konteksnya berbeda," kata Susanto.
Dari sisi ancaman pidana, pasal 338 KUHP menyatakan pidana penjara paling lama lima belas tahun, sedangkan dalam pasal 340 KUHP diancam pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. Dalam praktiknya, Susanto mengataka, sangat jarang pelaku dijatuhkan hukuman mati.
Menurut UU No 35 Tahun 2014, jika korban meninggal maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 3 miliar, serta ditambah sepertiga apabila pelakunya orangtua.