REPUBLIKA.CO.ID, BATU -- Aktivis perempuan dan anak, Salma Safitri, menilai selama ini pemerintah masih mengabaikan hak-hak perempuan perdesaan untuk memperoleh pengetahuan strategis. Kondisi ini dapat dilihat dari bantuan pemerintah ke masyarakat desa yang selalu fokus pada pelatihan keterampilan saja.
“Bantuan dari pemerintah mayoritas diwujudkan dalam bentuk pelatihan keterampilan tanpa disertai pengetahuan strategis,” kata Fifi, sapaan akrab Salma, kepada Republika.co.id, Jumat (26/2).
Menurutnya, perempuan perdesaan mempunyai hak untuk tahu wawasan teknologi, politik, ekonomi, serta isu-isu lain seputar perempuan dan anak. Oleh karenanya, ia bersama rekan-rekannya tergerak membentuk Sekolah Perempuan Desa (SPD) sebagai forum pengetahuan bagi perempuan di perdesaan. Di SPD, para peserta juga diberikan pemahaman tentang kesetaraan gender.
Pengetahuan ini berguna agar perempuan dapat melakukan negosiasi dengan pasangan di rumah. Dengan demikian suami dan istri berbagi peran dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dan berbagi beban pengasuhan anak. Selama ini lebih banyak perempuan yang menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak-anak dibandingkan laki-laki. Padahal sejatinya urusan rumah tangga dan pengasuhan anak juga menjadi kewajiban seorang suami.
Dalam penyampaian materinya, SPD bekerja sama dengan individu maupun institusi/lembaga untuk menyediakan narasumber. “Contohnya kita pernah mengundang dari KPAI dan rencananya pekan depan para peserta akan diajak ke DPRD agar mereka tidak melihat politik sebagai sesuatu yang asing,” ujar perempuan yang sudah 20 tahun malang melintang sebagai aktivis ini.
Menjalankan SPD yang tersebar di empat desa jelas bukan perkara mudah. Selain harus pandai mengatur jadwal, biaya operasional pun jadi kebutuhan yang tak terelakkan. Untuk menyiasatinya, SPD diselenggarakan di rumah penduduk yang dengan suka rela menyediakan rumahnya sebagai tempat belajar. Setiap ramadhan, para peserta diajak menggelar bazar yang keuntungannya digunakan membeli sarana pembelajaran.
Fifi mengungkapkan antusiasme masyarakat bergabung dengan SPD ini sangat tinggi meski segalanya dilakukan secara swadaya. Terbukti pada saat ini jumlah peserta tercatat lebih dari 170 orang yang usianya antara 20-40 tahun. Untuk materi mengenai teknologi dan informasi, SPD sengaja menyewa sebuah warnet.
“Para peserta tidak keberatan membayar sewa warnet karena semangat belajar mereka tinggi,” kata Fifi.
Baca juga: Asma Nadia: Facebook Harus Hormati Budaya Indonesia