REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Daerah Nusa Tenggara Timur menilai kebijakan pengenaan kantong plastik berbayar bagi para konsumen yang berbelanja di supermarket, hypermart dan minimarket tidak pro-rakyat tetapi lebih pro-pasar.
Tidak pro-rakyat karena harusnya kebijakan itu melindungi dan tidak lagi membebani rakyat dengan harus membayar lagi sebagai tambahan akibat adanya kantong plastik yang disediakan pihak perusahaan jasa ritel," kata Manejer Kompanye Pesisir dan Kelautan Walhi NTT Yustinus B Dharma di Kupang, Kamis (25/2).
Publik, katanya, mungkin masih ingat dengan baik, pernyataan Presiden Joko Widodo pada awal akan menyusun kabinet Indonesia Bersatu yang menekankan kabinetnya diisi oleh orang-orang yang pro-rakyat, bukan pro-pasar.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sejak 21 Februari 2016 mencanangkan pemberlakuan kantong plastik berbayar di tempat perbelanjaan dengan menerapkan tarif minimal Rp200 untuk setiap kantong plastik.
Pihak Kementerian mengklaim bahwa kebijakan kantong plastik berbayar ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah.
Kebijakan tersebut bertujuan untuk mengurangi pencemaran lingkungan yang bersumber dari sampah plastik.
Karena saat ini jumlah timbunan sampah kantong plastik terus meningkat signifikan dalam 10 tahun terakhir. Sekitar 9,8 miliar lembar kantong plastik digunakan oleh masyarakat Indonesia setiap tahun.