Kamis 25 Feb 2016 05:45 WIB

Janda Tiga Anak di Kalijodo Berharap Belas Kasihan Ahok

Rep: C21/ Red: Karta Raharja Ucu
  Suasana kawasan Kalijodo tampak sepi, Jakarta, Selasa (23/2).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Suasana kawasan Kalijodo tampak sepi, Jakarta, Selasa (23/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana penggusuran kawasan prostitusi Kalijodo berdampak luas pada perekonomian warganya. Tidak sedikit warga Kalijodo yang kebingungan akan tinggal dimana pascatempat tinggalnya digusur. Bagi yang mendapatkan jatah rumah susun mungkin tidak perlu pusing tujuh keliling, tetapi berbeda dengan warga yang tidak mendapatkan jatah. Rofiah salah satunya.

Perempuan berusia 46 tahun itu terpaksa bertahan di rumah kontrakannya, Jalan Kepanduan II, Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, hingga batas akhir pembongkaran, Senin (29/2). Perempuan yang bekerja sebagai buruh cuci itu mengaku tidak tahu akan tinggal dimana pascapenggusuran. Sebab, ia satu dari sekian banyak warga Kalijodo yang tidak mendapatkan jatah rumah susun dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

"Saya sekarang warga sini, mata pencaharian seperti ini," kata dia saat berbincang dengan Republika.co.id, Rabu (24/2).

Rofiah memang lahir di Jember, Jawa Timur. Tetapi, ia mengaku sudah 30 tahun tinggal di Kalijodo. Waktu yang tidak sebentar untuk warga pendatang.

Di kawasan Kalijodo, ia harus merogoh Rp 450 ribu untuk uang kontrakan. Ia tidak dapat menyembunyikan kekhawatirannya karena tahu biaya mengontrak rumah di luar Kalijodo lebih besar.

Rofiah mengaku mendapatkan informasi jika harga rumah kontrakan di luar Kalijodo berkisar Rp 700 ribu hingga Rp 1 juta. "Saya tidak dapat jatah rusun di sini," kata dia. "Untuk pulang kampung saya tidak memiliki uang."

Ia tidak mendapatkan jatah rusun karena tidak memiliki Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), meski memiliki Kartu Keluarga (KK) dan KTP. "Saya sudah nyari kontrakan tidak ada yang Rp 400 ribuan, paling murah Rp 600 - Rp 700 ribu," kata dia.

"Sedangkan uang saya tinggal Rp 300 ribu."

Selain sebagai buruh cuci, perempuan yang hidup menjanda karena ditinggal meninggal suaminya tersebut juga berjual kopi. "Saya tidak punya warung. Pesan antar. Sehari tidak dapat Rp 30 ribu. Kalau nyuci Rp 20 ribu - Rp 30 ribu, kalau tidak ada air baru ke rumah kontrakan."

Puluhan tahun lalu, Rofiah merawikan, ia datang ke Jakarta bekerja sebagai penjaga warteg. Ia juga sempat bekerja di pabrik sandal, tetapi karena sakit Rofiah memutuskan keluar. Guna menyambung hidup bersama tiga anaknya, ia pun menjadi buruh cuci.

"Namun sekarang sudah tidak ada yang nyuruh, selama bongkar-bongkar. Tidak ada pemasukan," ucap dia.

Rofiah berharap mendapatkan pesangon untuk bertahan hidup. Sebab, untuk pulang kampung ke Jember pun ia uang yang dimilikinya pun tidak cukup.

"Memang saya memiliki rumah di sana (Jember), namun masih numpang orangtua, keluarga besar," kata dia.

"Seikhlasnya Ahok memberikan berapa untuk menyambung hidup atau berjualan."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement