REPUBLIKA.CO.ID, Jakarta -- Tindakan Ketua Fraksi Partai Golkar, Setya Novanto, melaksanakan safari untuk menjadi calon Ketua Umum Partai Golkar ke Surabaya, Jawa Timur, dipertanyakan. Dalam pertemuan itu, Novanto bertemu tertutup dengan pengurus DPD Golkar se-Jawa Timur, Senin (22/2).
Menurut Lucius Karus dari Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi), kehadiran Novanto di acara itu bisa bermasalah. Sebab sebagai anggota DPR dan Ketua Fraksi Golkar, Novanto seharusnya berkantor di Jakarta.
"Mesti dicari tahu dulu, apakah ke Surabaya itu, Novanto itu apakah untuk kepentingan tugas DPR atau tugas partai? Lalu apakah sudah dapat persetujuan dari DPR? Kalau tak hadir kerja di DPR tapi tetap pergi tanpa izin, ya pasti bermasalah," kata Lucius, Selasa (23/2).
Lucius mengatakan pihaknya sudah melakukan pendalaman dan bisa memahami bahwa selama ini, aturan ketidakhadiran di DPR sangat ringan. Menurut dia, hal itulah yang kerap dieksploitasi oleh para anggota dewan untuk malas hadir di rapat dan sidang DPR.
Hanya saja, menurut Lucius, figur seperti Setya Novanto seharusnya tahu bahwa dirinya adalah Ketua Fraksi yang harus memberi contoh dan teladan baik buat anggotanya. Pada titik itu, menjadi penting untuk mengkritisi keputusan Novanto memilih hadir di Surabaya di hari kerja.
"Karena kebiasaan tak hadir di kantor saat hari kerja begini yang berkontribusi pada rendahnya kinerja DPR. Jadi walaupun misalnya ada program mengurangi waktu kunker ke Luar Negeri, tapi karena perilaku anggota tetap sama saja meninggalkan tugas tanpa tanggung jawab, kinerja DPR akan rendah terus," katanya.
"Sebenarnya Novanto bisa mengejar kepentingan pribadinya saat hari tak kerja, Sabtu dan Ahad, misalnya. Makanya perlu tahu apa dia ke Surabaya untuk tugas resmi atau tidak. Tak bisa disalahkan kalau dia ke sana atas seijin DPR. Tapi kalau tak ada ijin, pasti bermasalah," ujarnya.