REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPD RI Farouk Muhammad meminta penundaan pembahasan revisi UU KPK bersifat final selama kajian akademik belum ada.
Revisi tersebut pada akhirnya hanya akan menghabiskan energi dan menguras perhatian publik, karena studi perubahan tidak memadai.
"Wacana Revisi UU KPK selalu muncul disetiap periode DPR RI maupun Pemerintahan, namun pada akhirnya surut kembali karena adanya desakan publik. sejatinya perubahan UU diperlukan ketika ada cela hukum yang muncul dan kajian akademik yang bertanggung jawab," disampaikan Farouk Muhammad dalam keterangan resmi yang diterima Republika.co.id Selasa, (23/2) di Jakarta.
Menurut Farouk, revisi UU KPK mungkin saja dilakukan legislatif, namun harus didahului dengan kajian komprehensif. Baik menyangkut kajian filosofis, yuridis maupun sosiologis.
Apakah melalui kajian akademis di Universitas atau melibatkan seluruh stakeholder, seperti MPR RI, Presiden RI, MK RI, MA, Kejagung, dan Kepolisian agar memiliki argumentasi yang baik.
"Revisi UU KPK itu jangan dilihat dari aspek politik saja, namun mempertimbangkan secara obyektif terhadap kinerja lembaga penegak hukum yang lain dan sesuai dengan dinamika yang berkembang," jelas dia.
Mantan Gubernur PTIK ini mengingatkan pemerintah dan DPR agar cermat dalam merevisi UU KPK.
"Apakah pantas sebuah pemerintahan melakukan perubahan suatu kebijakan publik, seperti merubah UU tentang KPK, hanya berdasarkan beberapa ekses negatif, tanpa melalui kajian akademis yang komprehensif dan transparan yang dilandasi semangat keamanahan atau akuntabilitas publik?," pungkas Farouk.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya bersikap soal revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah bertemu dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan perwakilan fraksi di DPR, Senin (22/2) kemarin.