REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana revisi Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendapatkan penolakan.
Pengamat hukum sekaligus anggota Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Iluni FH UI) Bivitri Susanti pun mendorong agar Baleg DPR menarik draf revisi UU KPK dari program legislasi nasional (Proglegnas) prioritas.
Bivitri pun meminta agar DPR bisa memperdalam kajiannya dan mengundang para praktisi serta akademisi hukum untuk duduk bersama terlebih dulu sebelum membahas lebih jauh masalah revisi UU KPK. Menurut dia, bila tidak dimatangkan, akan merusak sistem penegakkan hukum jangka panjang.
"Ada baiknya DPR menarik revisi UU KPK ini dari prolegnas prioritas. Dimatangkan dulu dengan kajian ilmiahnya, bisa juga dengan mengundang kita yang bergerak di bidang hukum," kata Bivitri dalam diskusi tentang revisi UU KPK di Perpustakaan Daniel S Lev Law Library, Jakarta, Senin (22/2).
Bivitri juga menilai bila tujuan revisi Undang-Undang KPK tidak jelas. Ia menjelaskan, seharusnya, pengubahan undang-undang dilakukan karena dua hal. Pertama, kata dia, jika peraturan tersebut salah secara konstitusional.
Kedua, jika ada kebutuhan masyarakat. Selain itu, lanjut dia, ada 18 permohonan pengujian UU KPK yang masuk ke Mahkamah Konstitusi. "Sejauh ini MK menyatakan tidak ada masalah konstitusi dengan KPK," katanya.
Terkait dengan kebutuhan masyarakat, parameter yang ada tidak menunjukkan bahwa UU KPK perlu diubah. Parameter yang pertama ialah opini masyarakat. "Ada survei yang menyatakan sebagian besar masyarakat tidak merasa UU KPK perlu diubah," ujarnya.
Parameter lainnya, lanjut Bivitri, yakni efektivitas. Bivitri menilai hingga saat ini KPK masih efektif dalam pemberantasan korupsi. Seharusnya, kata dia, DPR dan pemerintah membuat kajian revisi terlebih dahulu. Misalnya, dengan mengaudit mekanisme kerja KPK.
"Jangan seperti sekarang, banyak yang tidak mengerti hukum," kata Bivitri.