REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan teroris yang merupakan mantan Kepala Instruktur Field Engineering Perakitan Bom Jamaah Islamiyah Wakalah Jatim Ali Fauzi mengatakan, terdapat perbedaan aksi terorisme sekarang dan dulu.
"Saat ini kuantitas aksi teroris meningkat pesat namun kualitasnya menurun. Sekarang perekrutan anggota teroris bersifat terbuka, kalau dulu perekrutan bersifat tertutup," katanya, Kamis, (18/2).
Proses radikalisasi seorang teroris itu berlangsung lama. Perlu waktu buat seseorang menjadi teroris, tidak bisa dalam sekejap apalagi jadi teroris akibat dihipnotis, itu tidak ada.
"Proses radikalisasi dilakukan secara bertahap. Misalnya seseorang diputarkan video kekejaman Israel terhadap Palestina, kekejaman Uni Soviet kepada Afganistan, baru dimasukkan paham-paham radikal ke mereka," jelasnya.
Ali yang akhirnya berhasil meninggalkan paham-paham radikal mengaku, ia sebenarnya tak pernah setuju bom diledakkan di pasar, jalan, hotel, mal, masjid. Waktu itu ia hanya setuju kalau bom diledakkan di daerah perang.
"Makanya saat teroris meledakkan bom di mal, apalagi masjid, saya sangat menolak. Kemudian saya dipenjara di Filipina, di penjara Filipina saya disiksa, lalu saya dibawa ke Indonesia," ujarnya.
Waktu di Indonesia, kata Ali, dia berpikir akan disiksa polisi Indonesia. Namun ternyata tidak, polisi malah membawanya ke RS Bayangkara Surabaya untuk diobati, pikiran suuzonnya terhadap polisi ternyata tak terbukti.
Kemudian ada peran Kemenag yang selalu mengajaknya diskusi. Kemenag berperan melakukan deradikalisasi kepada dirinya dengan mengirim petugas yang selalu mengajaknya berdialog.
"Sekarang saya sudah sembuh, saya juga menyembuhkan teman-teman saya. Saya jauhkan teman-teman dari virus radikal, ekstrimis, namun sayang pil yang diberikan pemerintah sampai saat ini belum tepat, belum mujarab untuk mengobati teroris," ujar Ali.