REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak delapan guru besar dari sejumlah universitas di Indonesia menyatakan penolakannya terhadap rencana revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Peneliti ICW, Emerson Yuntho meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak abai terhadap pandangan para guru besar tersebut.
Menyoal revisi UU KPK, ia menilai sebaiknya Presiden Jokowi mengundang para guru besar dan akademisi untuk mendengarkan pandangan secara langsung mengenai revisi UU KPK.
"Pandangan mereka sudah tentu lebih objektif dan tidak punya kepentingan politik," katanya kepada Republika.co.id, Rabu (17/2).
Menurutnya pandangan para guru besar tersebut tentu akan berbeda dengan pendapat Menkopolhukam Luhut Panjaitan dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) maupun Menkum HAM Yasona Laoly yang niat dan pandangannya sudah tidak objektif. Karena, adanya keingingan dan kepentingan maupun misi partai tempat mereka berasal, yang ingin merevisi UU KPK.
Emerson menjelaskan, naskah revisi UU KPK yang saat ini beredar, lebih membawa kepentingan pimpinan dan kader partai politik yang selama ini terganggu dengan kewenangan KPK. Khususnya, kewenangan menyadap dan menindak.
Sebab, menurutnya KPK yang kuat tentu saja ancaman bagi para politisi. Sehingga, wajar bila misi revisi UU KPK lebih diarahkan kepada pengawasan dan pengendalian serta pelemahan KPK. Emerson meyakini, para koruptor pasti senang dan mendukung segala upaya pelemahan KPK, termasuk melalui revisi UU KPK.
"Jokowi sebaiknya menolak revisi UU KPK sesuai dengan saran para guru besar dan keinginan rakyat Indonesia. Jangan hanya dengarkan saran anak buah dan pimpinan partai yang belum tentu berjuang untuk kepentingan rakyat serta mendukung upaya pemberantasan korupsi," jelasnya.