REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam rapat kerja Komite III DPD dengan Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri bukan hanya membahas UU perlindungan tenaga kerja Indonesia, sejumlah poin lain yang juga tengah disoroti oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI adalah kebijakan penggajian tenaga kerja itu sendiri.
Mervin Komber dari Papua Barat menyoroti tentang kebijakan sistem penggajian antara tenaga kerja asing dan tenaga kerja lokal.
Menurutnya, sebagian tenaga kerja asing yang ada di Papua memiliki ketrampilan yang sama dengan tenaga kerja lokal, namun pihak perusahaan cenderung memberikan gaji yang lebih besar kepada tenaga kerja asing.
"Tenaga kerja asing di Papua, spesifikasinya banyak yang sama dengan tenaga kerja lokal, tapi kenapa bisa banyak yang masuk, harus ada pembatasan atau bahkan dihentikan. Sistem penggajian juga berbeda antara asing dan lokal," kata dia di Gedung DPD RI, Komplek Parlemen Senayan, Selasa (15/2).
Sementara Eni Khairani dari Bengkulu mempertanyakan kondisi Balai Latihan Kerja (BLK) di sejumlah daerah yang jauh dari layak. Ia menilai, selain sarana dan prasana BLK yang sudah sangat tua, pelatih atau instruktur yang ada juga kurang kreatif.
"BLK kita sudah tua-tua, ekspired, tidak bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Masa ada mesin untuk pembelajaran yang usianya 30 tahun, ini persoalan di daerah. Belum daya tampungnya yang tidak mencukupi untuk calon tenaga kerja," tegasnya.
Ditanggapi oleh Menaker Hanif, dirinya sepakat untuk melakukan pembenahan terhadap BLK yang ada di daerah. Ia menilai, Indonesia memiliki SDM dalam jumlah cukup besar yang berpengalaman, namun sayangnya tidak memiliki sertifikat kemampuan.
Sehingga, tenaga kerja tersebut tidak diakui oleh dunia industri. Untuk menyikapi hal itu, pemerintah akan memberikan pelatihan dan memberikan serfikasi profesi kepada mereka.
"Jumlah tenaga kerja produktif kita sangat besar, ada yang tidak punya ketrampilan tapi banyak juga punya kemampuan tapi tidak memiliki serfikat. Tantangan kita untuk memastikan agar mereka yang tidak memiliki ketrampilan menjadi trampil dan mereka yang punya pengalaman bisa diakui dan memiliki sertifikat profesi," tambahnya.
Menurutnya, salah satu kelemahan dari tenaga kerja Indonesia adalah kurangnya pertahanan kepasitas diri (Self Defence Capacity). TKI harus diberi akses terhadap pelatihan yang difasilitasi oleh pemerintah supaya dapat tercipta SDM yang trampil dan mandiri.
"Self Defence Capacity tenaga kerja kita kurang, biasa disuapin, tinggal bayar ke calo terima beres semua pengurusan dokumen. Ke depan, harus didorong SDM yang lebih baik dan trampil, sehingga mereka jadi subjek pertama dari proses pencarian kerja," kata dia menjelaskan.