REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaksanaan program Corporate Social Responsibility (CSR) dirasa perlu ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, sehingga perusahaan pelaksana CSR memiliki pegangan dalam melaksanakan CSR yang tepat sasaran.
Pelaksanaan CSR perlu diatur sehingga tidak hanya sekedar bantuan sosial, tapi mampu memandirikan masyakarat. Demikian disampaikan sejumlah akademi, dan pelaku CSR dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komite III DPD RI di Komplek Parlemen, belum lama ini.
Dalam RDP terssebut, Dosen Pascasarjana Magister Manajemen-CSR Universitas Trisakti, Juniati Gunawan mengatakan Indonesia sebaiknya punya definisi CSR sendiri menyesuaikan dengan konteks permasalahan di Indonesia. Sejauh ini, CSR yang diadopsi perusahaan Indonesia menggunakan Community Involvement and Development yakni kebijakan perusahaan untuk kegiatan sosial.
Lebih lanjut Juniati mengatakan pemerintah dirasa perlu untuk membuat aturan yang jelas sebagai acuan untuk perusahaan dalam melaksanakan CSR. CSR dilakukan untuk memenuhi biaya pemberdayaan masyarakat, untuk itu diperlukan social mapping yang melibatkan Pemerintah daerah.
"CSR itu perlu aturan yang jelas, dibuat road map (program ini dibuat untuk menjawab kebutuhan masyarakat). Dan harus ada laporan. Dan terakhir buat payung program yang memayungi program-program CSR, sehingga semua program CSR menjadi terarah. Selain itu, juga harus memakai data kemiskinan," tambahnya.
Indra Budianto (Ketua Asosisasi Arta Graha) mengatakan CSR sudah dijalankan Arta Graha dengan menjalankan 5 pilar yakni, mengkait antar satu dengan lainnya, mengutamakan pelestarian lingkungan, mengutamakan CSR dalam sifatnya tanggap darurat terhadap manusia dalam bentuk evakuasi, memberi makanan atau selimut. Kondisi ini ada negatifnya, karena bantuan sifatnya social dan tidak benar membuat orang menjadi mandiri.
"Pengentasan orang miskin salah, karena orang miskin dibantu menjadi tidak mandiri. Yang cocok pengentasan pengangguran. Contoh CSR kami adakan kegiatan di Lombok, CSR ada disana, tetapi setelah acara berakhir, berakhirlah semua. Apakah CSR yang seremonial yang Indonesia inginkan. Tanam pohon, tidak diurus akhirnya mati," ujar Indra.
Sementara itu Konsultan CSR dan Comdev, Budi R Minulyo mengatakan pelaksanaan CSR di Indonesia masih berbeda-beda mulai dari definisi, tanggungjawab dan tujuannya. Saat itu terdapat sekitar 35 PP di daerah yang mengatur tentang CSR dan lingkungan, sayangnya tidak selalu meningkatkan efektifitas CSR. Ia menilai seharusnya program CSR tidak hanya memberikan manfaat kepada masyakarat tetapi juga kepada perusahaan pelaksana CSR itu.
"Banyak perushaan yang sudah melaksanakan CSR, tetapi hubungan kami dengan stake holder atau komunitas tidak ada perubahan bahkan ada konflik," ujarnya.
Lebih lanjut Budi menambahkan tantangan CSR saat ini adalah belum adanya peran dan fungsi CSR di lapangan. Selai itu, antar kementerian juga memiliki pandangan yang berbeda terkait CSR.
Beberapa isu kritis yang disampaikan Budi adalah bentuk jelas dari CSR antara lain yang berkaitan dengan sasaran program CSR, pihak yang disebut masyakarat dinilai hanya berdasarkan letak geografis dan CSR seharusnya mampu mendorong pembangunan yang tidak tumpang tindih dan CSR tidak memberi beban baru kepada perusahaan.
Sementara itu, anggota Komite III DPD RI, Ahman Jazuli mempertanyakan respon dari perusahaan terkait rencana pemerintah untuk menerbitkan UU CSR.
"Dari pemerintah mau ada UU CSR, bagi perusahaan tidak terlalu dibutuhkan CSR karena setiap waktu dilaksanakan CSR," ujar senator asal Lampung itu.
Senator Abdul Aziz dari Sumatera Selatan melihat sejumlah perusahaan di daerah yang program CSRnya tidak terkoordinasi dengan baik, hal ini karena aturan yang kurang mengikat. Selain itu, Ia menilai program CSR perusahaan yang sudah berjalan sejauh ini tidak membangun kualitas SDMnya, sehingga masyarakat tetap sulit mempertahankan kehidupan.
Sedangkan Marvin Kober melihat adanya kejanggalan dalam pelaksanaan CSR dilakukan diluar wilayah perusahaan berada. "Ada perusahaan di tempat lain, CSR nya di tempat lain, etiskan seperti ini. Contoh PT Freeport, ada di Papua CSRnya di luar Papua," jelasnya.
Sementara itu, anggota Komite III DPD RI asal Bali Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna berharap agar pelaksanaan program CSR tidak bertentangan dengan keinginan masyarakat, melainkan dapat meningkatkan upaya pemberdayaan masyarakat.