Selasa 02 Feb 2016 15:26 WIB

BW: Revisi UU KPK Cacat Prosedur

Rep: Wisnu Aji Prasetiyo/ Red: M Akbar
Saksi Ahli yang juga pimpinan nonaktif KPK Bambang Widjojanto saat memberikan keterangan dalam persidangan lanjutan pengujian UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta,
Foto: Republika/Prayogi
Saksi Ahli yang juga pimpinan nonaktif KPK Bambang Widjojanto saat memberikan keterangan dalam persidangan lanjutan pengujian UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta,

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang Widjojanto, mempertanyakan motif dan tujuan DPR yang ingin melakukan revisi terhadap UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Menurut dia, revisi tersebut tidak memiliki naskah akademik.

Bambang menilai tidak ada naskah akademik yang menjadi dasar rujukan revisi UU KPK. Menurut dia, tidak diketahui alasan dan argumentasi DPR untuk tetap ingin merevisi UU KPK. Menurut BW, tanpa adanya naskah akademik, revisi tersebut telah cacat prosedural.

"Revisi UU KPK cacat prosedur. Bila tidak ada naskah akademik dapat melanggar tata cara pembuatan undang-undang," kata Bambang melalui pesan singkat di Jakarta, Selasa (2/2).

Bambang menilai revisi tersebut tidak dikehendaki oleh rakyat yang diwakili oleh DPR. Menurut dia, hal itu merujuk pada banyaknya masyarakat yang menandantangani petisi menolak revisi UU KPK di website change.org.

"Sikap ngotot sebagian anggota dewan ini menimbulkan pertanyaan tentang motif dan tujuan revisi (UU KPK). Sebagian besar rakyat justru menolak revisi," ujar Bambang.

Bambang pun mencurigai maksud dan kepentingan pihak tertentu yang diwakili DPR agar melakukan perubahan terhadap UU KPK. Empat poin yang diusulkan oleh DPR dalam rapat pun, kata dia, sangat rawan dan berpotensi mengintervensi indepedensi KPK.

Keempat poin tersebut yakni mengenai pembentukan dewan pengawas KPK, penambahan kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), pengaturan soal penyadapan, dan kewenangan KPK mengangkat penyidik sendiri.

"KPK akan kehilangan marwah dan legitimasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya memberantas korupsi," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement