Selasa 26 Jan 2016 17:32 WIB

DPR: Menhub Jangan Cuma Jadi Penonton di Proyek Kereta Cepat

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Bayu Hermawan
Aktivitas pekerja pembangunan jalur Kereta Api cepat Jakarta-Bandung, di lokasi ground breaking di daerah Ciwalini, Kabupaten Bandung Barat, Kamis (21/1).
Foto: Republika/Arie Lukihardianti
Aktivitas pekerja pembangunan jalur Kereta Api cepat Jakarta-Bandung, di lokasi ground breaking di daerah Ciwalini, Kabupaten Bandung Barat, Kamis (21/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi V DPR dari Fraksi NasDem, Ahmad Ali menilai Kementerian Perhubungan (Kemenhub) seperti hanya menjadi penonton saja dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Ia menginginkan, Kemenhub mempunyai kewenangan menyikapi proyek tersebut.

"Kita ingin kemenhub punya kewenangan. Ini perlu kajian, kalau ini dilanjutkan tangung jawab harus ada di Menteri Perhubungan. Menteri Perhubungan jangan hanya jadi tukang stempel," ujarnya dalam rapat koordinasi dengan Kemenhub di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (26/1).

Proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung sendiri telah di-groundbreaking oleh Presiden Jokowi beberapa waktu lalu.

Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menjelaskan batas waktu konsesi dari PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) maksimal 50 tahun. Setelah itu, pengelolaan kereta api cepat harus di bawah pemerintah.

"Harus dikembalikan. Harus diserahkan," katanya usai rapat dengar pendapat dengan DPD RI, Jakarta, Selasa (26/1).

Hal senada juga diungkapkan Direktur Jenderal Perkeretaapian Kwmenhub Hermanto Dwiatmoko‎. Ia mengatakan berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 66 Tahun 2013 tentang Perizinan Penyelenggaraan Prasarana Perkeretaapian, izin konsesi oleh swasta maksimal dilakukan selama 50 tahun.

"Maksimal 50 tahun, dan itu harus diserahkan ke pemerintah, bukan kami yang minta, mereka (KCIC) bilangnya 40 tahun sudah BEP (Break Event Point)," ujarnya di Kantor Kemenhub, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (25/1) kemarin.

Kemenhub sendiri  belum mengeluarkan izin konsesi lantaran belum lengkapnya data-data dalam konsesi tersebut. Salah satunya, kejelasan return on investment dari konsesi tersebut.

"Sampai saat ini izin tersebut juga belum dikeluarkan," lanjutnya.

Sehubungan dengan izin usaha penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum‎, Hermanto menjelaskan, ada sembilan dokumen yang menjadi persyaratan, seperti Surat Permohonan Izin Usaha, Akta Pendirian BHI, NPWP, Surat Keterangan Domisili Perusahaan, Rencana Trase Jalur KA, Surat Penetapan Penyelenggaraan Prasarana, Perjanjian Penyelenggaraan Prasarana, Perencanaan SDM Perkeretaapian, dan Modal Disetor sebesar Rp 1 triliun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement