REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA -- Budaya bertanya 'kapan nikah?' atau 'kapan kawin?' menjadi momok bagi lajang di pedesaan dan perkotaan saat ini. Pertanyaan tersebut tak jarang membawa ketakutan tersendiri bagi seseorang yang statusnya belum menikah.
Anak-anak muda yang tergabung dalam Forum Generasi Berencana (GenRe) Provinsi Bengkulu menggagas kampanye 'Stop Bertanya Kapan Nikah?' di Bengkulu. Ketua Harian Forum GenRe Bengkulu, Yulesti mengatakan pertanyaan tersebut menimbulkan tekanan seolah menikah adalah pencapaian akhir seseorang, khususnya perempuan.
"Menikah bukan lomba lari, menikah bukan sekadar punya anak. Jangan sampai pertanyaan-pertanyaan tersebut mengintervensi anak muda zaman sekarang," ujarnya kepada Republika.co.id dalam Youth Pre-Conference di International Conference on Family Planning (ICFP) 2016, Nusa Dua, Ahad (24/1).
Remaja-remaja di daerah, kata mahasiswi di Universitas Negeri Bengkulu ini juga mengenal istilah 'bujang lapuk.' Julukan ini kerap disematkan pada laki-laki atau perempuan yang dianggap sudah terlalu tua tidak menikah.
Pernikahan, kata Lesti adalah satu hal yang harus dipersiapkan, terutama perencanaan keluarga. Perencanaan matang ini sama pentingnya dengan pengetahuan tentang keluarga, seks bebas, alat kontrasepsi, dan sebagainya.
Peserta Youth Conference ICFP 2016 asal Bengkulu, Adinda Falisha mengatakan Bengkulu saat ini menempati urutan keenam tertinggi untuk kasus pernikahan dini pada usia anak di Indonesia. Ia ingin mengubah persepsi ini dengan menerapkan pada diri sendiri terlebih dahulu.
"Setidaknya dengan mengikuti kegiatan ini, saya bisa mengedukasi dan menyosialisasikan pentingnya perencanaan berkeluarga kepada teman-teman sekolah," katanya.
Siswi SMA 5 Bengkulu ini mengimbau generasi muda usia sekolah untuk menghindari pergaulan bebas. Menurutnya, usia ideal perempuan menikah adalah kisaran 24-25 tahun.
Netizen asal Jakarta, Amanda Siallagan bahkan menggalang petisi stop bertanya 'kapan kawin?' 'kapan punya anak?' 'kapan nambah anak?' dan 'kapan' lainnya. Dalam petisi yang bisa ditandatangani di laman HYPERLINK "http://change.org"change.org itu, Amanda mengatakan budaya bertanya ini membuat seolah pencapaian terpenting dalam hidup manusia adalah menikah.
Pertanyaan ini, kata Amanda biasanya didasari bukan oleh rasa kepedulian, melainkan sekadar rasa ingin tahu berlebihan alias 'kepo,' atau pamer, dan atau menganggapnya sebagai kompetisi tentang siapa yang ingin menikah dan memiliki anak lebih dulu.
"Karena semua perubahan harus dimulai dari diri sendiri, kita yang biasa ditanyai 'kapan' di atas harus berhenti menanyakan hal sama pada orang lain," tulis Amanda.