REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Teroris, Al-Chaidar mengatakan rencananya revisi UU No 15 Tahun 2003 tentang Terorisme, adalah mencabut izin kewarganegaraan untuk orang Indonesia yang keluar Indonesia untuk berperang dengan kelompok radikal, seperti ISIS, akan cukup efektif untuk menangani radikalisme.
"Itu akan efektif, namun sebaiknya diberi keluasaan boleh berangkat namun tidak boleh pulang," ujar Al-Chaidar, Ahad (24/1)
Al-Chaidar menambahkan kalau orang Indonesia yang bergabung dengan ISIS di negara Timur-Tengah diperbolehkan. Namun jika kembali ke Indonesia mereka harus ditahan, karena tida memiliki kewarganegaraan.
"Mereka melanggar ketentuan imigrasi, karena tidak memiliki hubungan diplomatik dengan ISIS," kata dia.
Akibat tak punya lagi status kewarganegarran, maka mereka tak bisa deportasi bila melakukan kejahatan di luar negeri. Sebab, hanya mereka yang memiliki kewarganegaraan sah dan diakui, yang dapat dideportasi. ''Jadi kalau sudah hilang kewarganegaraan, mereka ingin dikembalikan ke negara mana. Sebab Daulah Islamiyah atau ISIS tidak memiliki hubungan diplomatik, dan tidak diakui keberadaanya.''
Sebelumnya, memang Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan tidak akan mengakui kewarganegaraan warga negara Indonesia (WNI) yang bergabung dengan ISIS.
Luhut mengatakan keinginan melaksanakan revisi terhadap UU Antiterorisme yang di antaranya akan mengatur penerapan pencabutan status kewarganegaraan merupakan salah satu opsi atau permintaan Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo dalam rapat terbatas (ratas) di Kantor Kepresidenan, Kamis (21/7) lalu.Dan bila aturan ini disahkan, maka WNI yang bergabung atau berperang dengan ISIS dianggap telah melepaskan status kewarganegaraannya.