Jumat 22 Jan 2016 22:04 WIB

Revisi UU Terorisme Perlu Perbaikan Intelijen

Red: Ilham
 Anggota Fraksi PKS MPR RI, H.M Nasir Djamil, tampil sebagai pembicara pada Dialog Pilar Negara bertemakan Eksekusi Mati Bagi Pengedar Narkoba di Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (20/4).  (foto : MgROL_39)
Anggota Fraksi PKS MPR RI, H.M Nasir Djamil, tampil sebagai pembicara pada Dialog Pilar Negara bertemakan Eksekusi Mati Bagi Pengedar Narkoba di Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (20/4). (foto : MgROL_39)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  -- Anggota Komisi III DPR, Muhammad Nasir Djamil menyampaikan ada banyak hal yang perlu dimasukkan dalam revisi Undang-undang Terorisme. Nasir melihat pemerintah perlu memperbaiki fasilitas bagi lembaga intelijen, penguatan lembaga deradikalisasi teroris, memahami penyebab terorisme, dan memperlakukan teroris sesuai Hak Azasi Manusia (HAM).

 

“Terorisme di Indonesia sudah mulai terbuka. Gerakannya, propaganda di media online, bahkan aksinya juga terbuka, walaupun ada pendapat masyarakat bahwa aksi terorisme terakhir menunjukkan seolah-olah tidak profesional,” kata Wakil Rakyat dari Aceh tersebut dalam rilisnya, Jumat (22/1). (DPR Persilahkan Pemerintah Pilih Merevisi UU Terorisme).

 

Fokus pertama dalam revisi UU Terorisme, menurut Nasir, terletak pada penguatan lembaga pencegahan terorisme. Pemerintah perlu melihat institusi yang bertugas ke institusi pencegahan terorisme. "Harus dievaluasi, kecolongan teror di Indonesia itu karena lemahnya intelijen atau karena sarana-sarana yang dimiliki intelijen itu lemah,” kata Nasir.

Nasir juga melihat pemerintah perlu memberi akses bagi Divisi Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk dapat masuk ke tahanan (sebelum pengadilan) agar dapat mencegah tersangka menjadi teroris kembali setelah dipidana.

 

“Ada beberapa pelaku teror pernah menjadi narapidana (residivis). Harusnya deradikalisasi itu di awal, bukan setelah mendapat hukuman yang berkekuatan tetap," katanya. Ketika tersangka belum menjadi narapidana, kata Nasir, Diputi Deradikalisasi perlu masuk ke tahanan. "Bukan, sebaliknya diperlakukan secara tidak manusiawi."

 

Terkait dengan langkah pencegahan lanjutan, Nasir juga menyarankan perlunya pemerintah melihat kondisi seperti apa yang menyuburkan terorisme di Indonesia. Biasanya, kata dia, terorisme tumbuh di tengah masyarakat yang mendapat tekanan politik yang keras, mendapatkan pembangunan ekonomi yang tidak merata, dan juga mengalami kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin.

"Mereka melawan negara dengan terorisme. Itu harus dievaluasi. Pemerintah harus hadir di tengah masyarakat,” kata Nasir.

 

Nasir tidak menyarankan Pemerintah untuk memunculkan peraturan presiden pengganti undang-undang (Perppu). Sebab, banyak lembaga-lembaga terkait terorisme, mencakup Polisi, TNI, dan BNPT yang perlu sinergi.

 

“Dengan Perppu, dikhawatirkan menimbulkan masalah baru terkait koordinasi antarlembaga. Ada kebiasaan di negeri ini, akan ada pihak yang berkepentingan yang melobi presiden, sehingga memunculkan kecemburuan di antara lembaga," katanya. Karena itu, Nasir meminta rivalitas dalam menjalankan fungsi intelijen itu perlu dievaluasi.

 

Nasir juga memperhatikan revisi Undang-undang perlu memperhatikan HAM. Soal teknis penggeledahan dari rumah teroris, misalnya. Ketika aparat mengepung dan menggeledah rumah dari jaringan teroris, jangan sampai melanggar HAM dan menurunkan martabat mereka sebagai manusia. "Karena itu bisa mempengaruhi orang yang tidak suka dengan teroris, malah ingin mengikuti teroris,” kata Nasir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement