REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah sepakat merevisi Undang-Undang Terorisme No.15 Tahun 2003. Revisi dinilai mendesak dilakukan karena ancaman terorisme yang semakin masif.
Wakapolri, Komjen Budi Gunawan menjelaskan, ada dua pilihan yang masih didiskusikan terkait revisi UU terorisme untuk kemudian diputuskan. Pertama, terkait perluasan pidana terorisme. Kemudian, terkait lingkup pencegahan dan deradikalisasi.
Sehingga, kata dia, nantinya jelas seseorang berbuat apa dan pihak yang bertanggung jawab.
"Mana yang bertanggung jawab di pencegahan, penanggulangan termasuk penindakan, dan terakhir deradikalisasi," kata Budi di Mabes Polri, Jumat (22/1).
Menurut Budi, dengan revisi UU terorisme, ajakan dan edaran maupun slogan yang mengarah kepada aksi teror dapat dikenakan tindak pidana terorisme. Termasuk slogan yang banyak beredar di media sosial.
"Perluasan tentang masa penangkapan dan penahanan termasuk bukti intelijen bisa dijadikan acuan. Masukan-masukan intelijen bisa didalami karena suatu saat bisa jadi bahan pengawasan," kata Jenderal bintang tiga tersebut menambahkan.
Meski demikian, Budi menjamin, setelah UU terorisme direvisi, Polri akan memperhatikan Hak Asasi Manusia (HAM). Polri akan tetap melihat apakah seseorang sudah melakukan perbuatan pidana terorisme sebelum nantinya dilakukan penindakan.
Budi juga belum dapat menjelaskan terkait usulan Polri sendiri dalam revisi UU terorisme. "Masih dalam kajian saat ini dibahas di Polhukam dan Menkumham," katanya.