Jumat 22 Jan 2016 07:30 WIB

Pengamat: Teror Bom Sarinah Jadi Alasan Revisi UU Terorisme

Rep: Amri Amrullah/ Red: Bilal Ramadhan
Korban bom Thamrin Frank Feulner warga negara Jerman di RS Abdi Waluyo, Jakarta, Selasa (19/1). (Republika/Yasin Habibi)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Korban bom Thamrin Frank Feulner warga negara Jerman di RS Abdi Waluyo, Jakarta, Selasa (19/1). (Republika/Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pemerintah merevisi Undang-Undang (UU) Terorisme sebagai respon aksi teror bom Thamrin terus mendapatkan pro dan kontra dari masyarakat. Peneliti Hukum Konstitusi dari Asosiasi Sarjana Hukum Tata Negara (ASHTN) Indonesia, Mei Susanto mengingatkan agar pemerintah tidak terkesan memanfaatkan tragedi bom Thamrin sebagai pemantik disegerakannya revisi UU Terorisme ini.

"Memunculkan dugaan-dugaan kalau Bom Thamrin ini hanyalah sebuah pemantik agar rencana untuk merevisi UU Terorisme yang dari tahun-tahun sebelumnya sudah digiatkan pemerintah mempunyai alasan yang kuat," ujarnya kepada Republika.co.id, Rabu (20/1).

Ia mengungkapkan ini tanpa alasan. Beberapa hari setelah ledakan bom Thamrin, para pimpinan Lembaga Negara termasuk Presiden Jokowi langsung menyepakati revisi ini. Diakui dia, ancaman terorisme bagi masyarakat dan negara memang nyata bukan imajinasi kosong belaka. Bahkan beberapa negara maju seperti Amerika, Prancis dan Turkipun turut menjadi korban terorisme itu.

Namun bukan berarti dengan tragedi bom ini terkesan ada sikap reaktif seperti ingin segera proses revisi UU no 15 tahun 2003. "Keterburu-buruan justru menimbulkan potensi pengabaian dan pelanggaran prinsip-prinsip HAM yang merupakan salah satu amanat penting reformasi," ujarnya.

Ia mengingatkan beberapa tahun terakhir Pemerintah melalui BNPT maupun Polri cukup serius mengusulkan agar UU Terorisme diubah karena perkembangan terorisme khususnya adanya ISIS.

Tidak hanya revisi UU Terorisme, namun juga mengusulkan Perppu/UU Penanggulangan Kelompok atau Organisasi Terlarang yang secara jelas mengancam kebebasan berserikat yang dijamin UUD 1945.

Selain itu, keinginan melakukan perubahan hukum juga menyasar UU 9/1998 tentang Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, yang membuat siapa yang terlibat ISIS tidak dapat langsung ditangkap dengan alasan dijamin UU.

Juga menyasar UU 17/2013 tentang Ormas yang tidak mengakomodir Ormas yang tidak terdaftar dan bahkan radikal untuk ditindak. Lalu juga menyasar UU 12/2006 tentang Kewarganegaraan yang belum mengatur dapat hilangnya kewarganegaraan Indonesia akibat ikut organisasi terlarang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement