REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Akademisi sekaligus pakar bidang komunikasi keluarga dan seksual Universitas Andalas (Unand) Padang, Sumatera Barat, Dr. Emeraldy Chatra mengatakan bahwa pemerintah atau masyarakat sulit mengukur kasus tindak kekerasan verbal atau non fisik.
"Faktor sulitnya ini karena tidak mudah membuktikan adanya tindak kekerasan tersebut yang dapat diganjar secara hukum," katanya, di Padang, Kamis (21/1).
Dia mencontohkan tindak kekerasan verbal dalam rumah tangga seperti menghina atau berteriak antara suami dan istri. Secara perilaku kata dia, tindakan tersebut telah mencerminkan sebuah kekerasan namun tidak dapat ditetapkan sanksi sebagaimana kekerasan secara fisik. Sebab tentunya tidak dapat menemukan bukti otentik dari bekas kekerasan tersebut, imbuhnya.
"Indikator untuk menemukan tindakan pelanggaran ini juga susah, sebab berkaitan dengan sisi kepentingan pribadi," katanya.
Bahkan untuk dilakukan wawancara khusus pun, baik pelaku maupun korban berpotensi mengatakan hal tidak sebenarnya. Di samping itu kekerasan secara verbal ini juga berkaitan dengan kerahasiaan dan aib seseorang.
Menurutnya bila hal ini diungkap ke permukaan akan melanggar norma agama, yang mengharuskan suami istri menjaga aibnya masing-masing. "Perlu riset mendalam dan berkelanjutan untuk mengungkap secara tidak langsung permasalahan kekerasan verbal ini," kata dia.
Salah satunya dengan melakukan survei mendalam melalui penyusunan sistem yang sangat erat kaitannya dengan permasalahan tersebut.
"Adanya penghitungan kasus dari tindak kekerasan pada instansi tertentu, ada kemungkinan dalam indikatornya tidak menyertakan faktor kekerasan verbal tersebut," ucapnya.
Sementara itu Ketua PKK di salah satu kelurahan di Padang, Nenden Tedja menilai butuh pendampingan khusus untuk menangani permasalahan tindak kekerasan non fisik semacam itu. Menurutnya tidak ada sanksi hukum yang bisa mengatasinya kecuali secara sosial.