REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran Muradi menyatakan, perlu ditegaskan bahwa esensi revisi Undang-Undang Antiterorisme tersebut adalah bagaimana mengefektifkan pemberantasan terorisme dalam perspektif penegakan hukum.
Artinya, revisi yang dilakukan harus tetap berpijak pada kewenangan yang melekat di masing-masing institusi terkait. (Revisi UU Terorisme? Evaluasi Dulu Salah Tangkap dan Kekerasan Aparat).
Menurut Muradi, ada lima hal yang dapat dimasukkan dalam revisi UU Terorisme, yakni kewenangan yang lebih besar untuk Polri, dalam menangkap personal maupun kelompok yang teridentifikasi berhubungan dengan organisasi teror. Penangkapan tersebut diperuntukkan penyidikan dan mengindentifikasi keterlibatan dan atau kemungkinan potensi melakukan aksi teror dan penyebaran paham radikal.
"Perluasan kewenangan dalam menangkap dan menyelidiki sejumlah potensi dalam penyebaran paham radikal dan aksi teror tersebut berbatas waktu, yakni jika Polri tidak dapat menemukan keterlibatan dengan jejaring teror, maka maksimal enam bulan harus dibebaskan," kata Muradi dalam pesan singkat yang diterima Republika.co.id, Rabu (20/1).
Kedua, revisi UU Terorisme juga harus mempertimbangkan pembatasan kewenangan dari BNPT. Dengan begitu, nantinya BNPT hanya berwenang untuk mengoordinasikan institusi terkait dan perencanaan strategi pemberantasan terorisme yang dapat menjadi acuan bagi institusi-institusi terkait.
"Maka, otomatis pada kewenangan ketiga, yakni kewenangan BNPT dalam operasional tidak lagi melekat," ujarnya.
Ketiga, revisi UU Terorisme harus menegaskan pendanaan pemberantasan terorisme. Meski sudah diatur dalam UU Terorisme yang ada saat ini, perlu juga dalam revisi nanti ditegaskan pemanfaatan dukungan dan bantuan asing dalam pemberantasan terorisme.
Menurutnya, itu menjadi penting untul menegaskan bahwa setiap kebijakan dan langkah yang dilakukan oleh pemerintah harus dilihat sebagai kebijakan yang mandiri tanpa ada intervensi asing.
Keempat, perlu dipertimbangkan untuk melakukan spesialisasi fungsi pada sejumlah unit antiteror yang ada selain Densus 88 dan unit antiteror di militer. Hal ini agar permasalahan leading sector tidak lagi menjadi isu utama dalam pemberantasan terorisme yang menekankan pada penegakan hukum.
Spesialisasi fungsi, salah satunya penekanan pada kemampuan yang melekat di masing-masing unit antiteror dengan tetap menitiktekankan pada penegakan hukum. Khusus untuk BIN, penting untuk ditegaskan pada koordinasi intelijen dalam pemberantasan terorisme dalam bentuk fungsi intelijen.
Kelima, penekanan bahwa terorisme adalah kejahatan luar biasa yang mana penanganannya membutuhkan kekhususan. Salah satunya, ada pada lembaga pemasyarakatan khusus yang mampu mengoptimalkan program deradikalisasi.
"Kebijakan mencampurkan tahanan teroris dengan tahanan kriminal biasa selama ini justru memperkuat paham radikal. Dengan menegaskan di undang-undang, ada amanat untuk membangun penjara khusus tahanan teror agar mampu mencegah meluasnya paham radikal," kata muradi.