Rabu 20 Jan 2016 15:33 WIB

Perluasan Kewenangan BIN Dikhawatirkan Tingkatkan Pelanggaran HAM

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Muhammad Subarkah
 Anggota tim Densus 88 melakukan penggerebekan dan penangkapan teroris di salah satu rumah kontrakan di Kampung Batu Rengat, Desa Cigondewah, Kab. Bandung, Rabu (8/5).
Foto: Antara/Fahrul Jayadiputra
Anggota tim Densus 88 melakukan penggerebekan dan penangkapan teroris di salah satu rumah kontrakan di Kampung Batu Rengat, Desa Cigondewah, Kab. Bandung, Rabu (8/5).

REPUBLIKA.CO.ID,‎ JAKARTA -- Imparsial tidak setuju apabila Badan Intelijen Negara (BIN) diberi perluasan kewenangan untuk menangkap dan menahan. Pasalnya hal tersebut sudah menjadi kewenangan aparat penegak hukum, sedangkan BIN bukan penegak hukum.

BIN bertugas mengumpulkan informasi, mengolah informasi dan menyajikannya kepada pengguna (dalam hal ini Presiden) untuk dapat membuat keputusan yang tepat. Intelijen yang diberi kewenangan menangkap dan menahan sudah pernah dirasakan pada masa Orde Baru. "Dan dampaknya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) banyak terjadi," ujar Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti kepada Republika.co.id, Rabu (20/1).

Menurut dia harus ada evaluasi menyeluruh apabila pemerintah ingin merevisi undang-undang terorisme. Dari evaluasi implementasi dari UU No 15 Tahun 2003 tersebut, perlu ada naskah akademik revisi dan pasal-pasal yang direncanakan diusulkan dalam revisi. Pemerintah dan DPR perlu transparan dan membuka seluas-luasnya usulan dan peran serta masyarakat. Harus dipertimbangkan sisi keamanan serta tidak boleh merugikan kebebasan masyarakat sipil. Selain itu, perlu juga mengadopsi nilai-nilai HAM.

Imparsial tidak mempermasalahkan jika pemerintah ingin merevisi UU terorisme. "Asal jangan ada pemberian kewenangan baru pada BIN untuk menangkap dan menahan," kata Poengky. Menurut dia, selama ini BIN kurang dapat berkoordinasi baik sehingga sering 'kecolongan'.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement