Selasa 19 Jan 2016 23:36 WIB

Psikolog: Orang Tua Harus Tenang Merespons Terorisme pada Anak

Pelajar di Jakarta melakukan aksi melawan terorisme #pelajar TIDAK TAKUT
Foto: aji nugroho
Pelajar di Jakarta melakukan aksi melawan terorisme #pelajar TIDAK TAKUT

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Psikolog dari Universitas Indonesia Nathanael EJ Sumampouw mengatakan, orangtua harus merespons dengan tenang soal terorisme pada anak. Ini penting agar tidak menimbulkan trauma yang berlebihan mengenai peristiwa yang berkaitan dengan terorisme.

"Anak belajar bereaksi terhadap suatu hal dari orang tua. Oleh karenanya, kita diharapkan merespons dengan tenang, contohnya bilang, 'mama sedih kalau mendengar ada teror, tapi mama yakin ada polisi yang bertugas mengamankan," kata Nathanael dalam Forum Ngobras "Lindungi Anak dari Terorisme", di Jakarta, Selasa (19/1).

Dosen yang akrab disapa Nael tersebut mengatakan orangtua dapat menjelaskan soal terorisme sesederhana mungkin yang bisa dipahami oleh anak dan diimbangi dengan cerita positif agar anak merasa aman. Nael menjelaskan ada enam cara dalam menghadapi persoalan terorisme pada anak, terutama keingintahuan mereka usai ledakan bom di kawasan Sarinah, Thamrin, Kamis (14/1) lalu.

Adapun enam poin tersebut diurutkan sesuai abjad (demi memudahkan orangtua untuk mengingat), yakni ajukan pertanyaan. "Tempatkan anak menjadi narasumber agar kita tahu sejauh mana yang dia pahami, misalnya tahu darimana soal terorisme, kemudian kita dengar apa penjelasan dia," kata Nael.

Langkah kedua adalah batasi paparan yang memberi kekerasan lebih lanjut, seperti tidak memperlihatkan foto korban aksi terorisme dan mengalihkan perhatian anak ketika ia sedang menonton tv bermuatan kekerasan dan terorisme. Ketiga adalah ceritakan sederhana apa yang terjadi tanpa penjelasan lebih detail melampaui pihak berwenang, seperti menjelaskan asal teroris berasal.

Keempat adalah dengarkan perasaan dan pikiran anak dan kelima adalah memberikan ekstra perhatian dan kasih sayang pada anak. Langkah keenam adalah fokus pada aktivitas dan rutinitas anak karena biasanya sulit mengembalikan aktivitas normal pada anak yang mengalami langsung kejadian traumatik.

"Kalau anak biasanya sekolah, secepatnya diadakan sekolah, misalnya ada sekolah tenda untuk anak korban musibah. Dengan adanya rutinitas, anak jadi mengembangkan harapan hari esok," ujar Nael.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement