Selasa 19 Jan 2016 05:43 WIB

'UU Terorisme Jangan Dijadikan Alat Represif dan Intimidasi kepada Rakyat'

Rep: c23/ Red: Muhammad Subarkah
Polisi berjaga-jaga di depan lokasi terjadinya bom di jalan MH Thamrin, Jakarta, Senin (18/1).
Foto: Antara/Rosa Panggabean
Polisi berjaga-jaga di depan lokasi terjadinya bom di jalan MH Thamrin, Jakarta, Senin (18/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin mengatakan, dia tidak keberatan bila pemerintah berencana merevisi Undang-Undang (UU) Terorisme pascaterjadinya insiden teror di Jakarta beberapa waktu lalu.

Namun, ia mengingatkan, poin-poin yang hendak direvisi harus tetap menjamin hak-hak asasi masyarakat, mencakup kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat.

Ia mengungkapkan, semua produk hukum atau perundang-undangan memang terbuka untuk disempurnakan, sejalan dengan kebutuhan dan tuntutan keadaan. 

“Bahwa terorisme telah menjadi ancaman terhadap peradaban, eksistensi negara, dan kemanusiaan, tidak perlu diragukan lagi, kita semua menghadapi ancaman tersebut. Maka, perlu strategi komprehensif untuk menanggulanginya,” ucap Din ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (18/1).

Kendati demikian, Din berharap pemerintah tidak gegabah dalam merombak atau menyempurnakan UU Terorisme. Terlebih, bila mengabaikan hak asasi manusia yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar. “Jangan sampai UU yang nanti itu dapat mudah dijadikan alat untuk melakukan tindakan represif dan intimidasi kepada rakyat,” katanya menjelaskan.

Di tengah situasi yang belum sepenuhnya pulih pascainsiden teror di Jakarta, Din menyarankan agar pemerintah mengambil jeda sejenak dan tidak tergesa-gesa.

“Sambil berpikir secara jernih, apa yang perlu disempurnakan (UU Terorisme),” ungkapnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan  sempat mengungkapkan, pemerintah bakal mendorong adanya upaya revisi terhadap UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Adanya perubahan undang-undang tersebut, diharapkan dapat membuat aparat keamanan bergerak leluasa, terutama dalam mencegah tindakan terorisme. Dan, keinginan melakukan revisi atas aturan tersebut menguat setelah terjadi teror bom di kawasan Sarinah, Jakarta, pada 14 Januari 2016.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement