REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Letjen (Purn), Sutiyoso, sempat mengungkapkan adanya harapan terkait perluasan kewenangan BIN, terutama dalam aspek penangkapan dan penahanan terhadap terduga teroris. Namun, jika BIN mendapatkan kewenangan untuk menangkap dan menahan seseorang yang dianggap terduga teroris, maka hal itu justru dianggap menjadi preseden buruk buat proses demokrasi Indonesia.
Kepala Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjajaran (Unpad) Muradi, menilai, perluasan kewenangan tersebut malah akan membawa proses pembangunan demokratisasi Indonesia mundur ke belakang. ''Lantas apa bedanya dengan saat Orde Baru, kok malah mundur ke belakang. Itu malah memberikan preseden buruk buat demokrasi kita,'' ujar Muradi saat dihubungi Republika.co.id Senin (18/1).
(Baca: DPR Nilai BIN tak Perlu Tambah Wewenang).
Lebih lanjut, Muradi menjelaskan, cara kerja BIN itu nantinya akan mengulangi cara kerja saat lembaga intelijen masih dibawah kendali Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN), yang dengan alasan tertentu dapat menangkap siapapun. Muradi menilai, sebenarnya kerja BIN tidak hingga tingkatan operasional, namun lebih kepada menganalisa potensi ancaman dan memberikan laporan terhadap pemerintah, dalam hal ini Presiden.
Tidak hanya itu, berdasarkan peraturan perundangan yang ada, kewenangan yang dimiliki BIN sebenarnya sudah cukup banyak, termasuk soal penyadapan dan penggalian informasi. Semua ini sudah diatur di UU No.17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara dan Perpres Nomor 67 Tahun 2013 tentang Koordinasi Intelijen Negara.
BIN sebagai koordinator aparat intelijen di semua instansi pemerintahan, sebenarnya memiliki wewenang yang cukup kuat. BIN tinggal memaksimalkan kerja dari Komite Intelijen Daerah (Kominda) dan Komite Intelijen Pusat (Kominpus). ''Sayangnya, selama ini koordinasi itu belum berjalan secara efektif. Jika itu sudah berjalan efektif, rasanya permintaan perluasan wewenang itu tidak akan ada,'' kata Muradi.