REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana untuk menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) kembali menguat, seperti yang belakangan ini disampaikan pihak PDI Perjuangan sebagai partai berkuasa.
Menurut pakar hukum tata negara Mahfud MD, wacana tersebut bisa saja diwujudkan melalui amandemen UUD 1945. Asalkan, memenuhi syarat formal antara lain hal tersebut diusulkan sepertiga anggota MPR RI dan melalui sidang paripurna yang kuorum.
Namun, kata mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini, sejatinya substansi GBHN sudah ada di Undang-Undang tentang Sistem Pembangunan Nasional.
Terbitnya beleid tersebut terjadi ketika era Orde Baru sudah tumbang dan UUD 1945 diamandemen untuk keempat kalinya. Akibat amandemen itu, lanjut Mahfud, hingga kini tak ada lagi lembaga tertinggi negara, yang sebelumnya disematkan kepada MPR.
"Sekarang karena Undang-Undang Dasar kita berubah, maka bentuk hukum bagi yang dulu disebut GBHN sekarang undang-undang. Yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Pembangunan Nasional. Itu sama saja. Cuma namanya saja bukan GBHN," jelasnya saat dihubungi, Selasa (12/1).
Ia melanjutkan, karena itu menghidupkan kembali GBHN merupakan satu alternatif yang sebaiknya dipertimbangkan. Sebab, yang esensial adalah bagaimana menerapkan pembangunan jangka panjang.
Menurutnya, sudah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur soal pembangunan jangka panjang dan jangka menengah. Dia mengimbau agar jangan terlalu fokus pada wadah bernama GBHN.
Memunculkan lagi GBHN berarti mengamandemen UUD 1945 lagi. Padahal, menurut Mahfud, secara pukul rata amandemen terhadap konstitusi biasanya berselang waktu 20 tahun. Sedangkan, dari amandemen teranyar, kini baru berjarak 16 tahun.
"Persoalan kita sekarang kan implementasinya. Karena kalau substansinya (GBHN), itu tidak berubah. Sejak dulu sudah ada. Namanya saja berubah," katanya.
Mahfud mengingatkan, dalam era kekuasaan Presiden Soeharto silam, GBHN kerap dijadikan alat kesewenangan. Bangkitnya era Reformasi justru hendak menghapus abuse of power demikian.
"Karena dulu ada GBHN disalahgunakan juga, kan? Dulu zaman Pak Harto ada GBHN. Yang membuat GBHN itu dulu bukan MPR, tapi Wanhankamnas (Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional). Lalu Wanhankamnas menyerahkan ke Pak Harto. Pak Harto minta MPR mengesahkan," jelasnya.
"Sehingga dia (Soeharto) melakukan apa pun harus dianggap benar karena katanya ini sudah ada di GBHN. Jadi tak ada yang salah," katanya.