REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Evaluasi kinerja Pemprov Jawa Barat 2015 tergolong sangat baik dan stabil. Karena, sejumlah pencapaian di atas rata-rata nasional.
Menurut Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, dari sisi parameter serapan anggaran, Pemprov Jawa Barat berhasil menyerap 90 persen dari anggaran yang ditetapkan dalam APBD 2015 sebesar Rp 24,753 triliun.
"Kalau dikategorikan, 90 persen itu nilainya A. Ini tinggi dibandingkan provinsi lainnya," ujar Heryawan yang akrab disapa Aher kepada wartawan akhir pekan lalu.
Menurut Aher, tingginya serapan anggaran tersebut juga mencerminkan pembangunan berjalan dengan baik. Kalaupun ada, kendala serapan tersisa 10 persen, karena terkendala regulasi.
Kendala tersebut, kata dia, antara lain aturan baru pemerintah pusat, terutama dari UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur ketat penyaluran anggaran kepada masyarakat yang bersifat hibah. Aher mengakui, Pemprov Jabar gagal memberikan hibah ke petani tahun 2015. Jadi, ribuan traktor tak bisa disalurkan karena tidak berbadan hukum seperti digariskan UU No 23/2014.
"Lalu, 38 ribu pembangunan rumah tidak layak huni di Jabar juga gagal, mana ada orang miskin berbadan hukum?" katanya.
Begitu juga, kata dia, rencana penyaluran APBD 2015 sekitar Rp 100 miliar lebih kepada 55.000 posyandu di Jawa Barat tak tersalurkan. Padahal, program dasarnya adalah Rp 2 juta per posyandu untuk dana operasionalisasi. Kendala serupa terjadi dalam pemberian bantuan Masjid, sebab hanya segelintir mesjid yang berbadan hukum seperti mesjid milik yayasan pendidikan. Dalam contoh kecil, kegagalan juga terjadi dalam pembebasan sejumlah lahan.
Namun, kata dia, kendala kecil itu tak menghalangi Pemprov Jabar meraih capaian maksimal dalam indikator ekonomi. Seperti pencapaian Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) yang hingga triwulan III 2015 mencapai 5,03 persen dan diprediksi selama 2015 mencapai 5,1-5,2 persen, atau lebih tinggi dari rerata nasional 4,7-4,8 persen.
"Sekalipun sempat ada decline ekonomi, ada perlambatan ekonomi global, alhamdulillah Jabar masih di atas rata-rata secara nasional," katanya.
Masyarakat, kata dia, patut membanggakan hal tersebut karena Jabar bukan daerah kecil. Sekitar 20 persen pertumbuhan nasional ada di Jabar sehingga memegang kunci penting.
Menurut Aher, produk domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku tahun 2015 mencapai Rp 392,21 triliun dan PDRB atas dasar harga konstan 2010 Rp 307,37 triliun. Sementara dari sisi daya (purchasing power parity/PPP) diprediksi mencapai Rp 650.000 atau naik dari capaian tahun lalu PPP 2014 Rp 644.360 serta PPP 2013 Rp 640.800. Untuk laju pertumbuhan invetasi, diduga mencapai 12 persen, atau naik dari raihan 10,91 persen (tahun 2013) serta 10,16 persen (2014). Dari indikator makro ekonomi, Jabar bisa bertahan dengan baik, termasuk menjaga daya beli masyarakatnya.
"Kami harus akui ini ada efek delapan deregulasi pemerintah pusat, yang membuat Presiden Jokowi akan terus memangkas regulasi eksisting," katanya.
Regulasi sekarang, kata dia, berjumlah 44 ribu dan paket deregulasi membuat regulasi yang efektif tersisa 22 ribu dan akan diturunkan lagi hingga 11 ribu Sehingga jika itu terjadi, maka capaian ekonomi makro akan makin baik. Apalagi dari sisi infrastruktur pendukung regulasi, Jabar tahun ini terlibat aktif dalam sejumlah proyek monumental pemerintah pusat dan daerah yakni Tol Cipali per 16 Juni 2015, Waduk Jatigede 31 Agustus 2015, serta groundbreaking Tol Pasirkoja-Soreang 10 September 2015.
"Ini belum termasuk sejumlah ruas tol lain yang mulai ada pergerakan setelah mangkrak lama," katanya.
Misalnya, kata dia, Tol Ciawi Sukabumi yang gerak lagi tahun ini setelah dicanangkan pertama tahun 1997. Juga dengan Tol Cisumadawu yang saat ini progresnnya terus bangun oleh Pemprov Jabar.
Dari sisi indeks pembangunan manusia (IPM), sambung Aher, pencapaian juga relatif baik. Tahun 2015 ini, meski angkanya masih difinalisasi, diperkirakan berkisar 74,29-75,49 atau naik dari IPM 2014 sebesar 74,28.
IPM sendiri mencakup parameter pendidikan meliputi RLS (Rata Lama Sekolah) dan AHLS (Angka Harapan Lama Sekolah) sebagai pengganti indikator AMH (Angka Melek Huruf) yang dianggap tidak relevan lagi karena capaiannya di Jabar sudah di atas 95 persen. Selain pendidikan, IPM juga mencakup angka harapan hidup (AHH), angka kematian ibu (AKI), dan angka kematian bayi (AKB). Angka detil dari semua parameter tersebut juga masih difinalisasi.
"Dengan seluruh pencapaian ini, tapi tetap ada pekerjaan rumah yang besar bagi kami," katanya.
Pertama, kata dia, belum seimbangnya industri hulu dan hilir. Masih banyak bahan mentah dari Jabar diekspor, sehingga sebagai bangsa rugi karena tidak ada nilai tambah dan menambah pengangguran.
"Seharusnya, ada pengolahan bahan mentah sehingga terbuka peluang kerja bagi generasi produktif di Jabar," katanya.
Kedua, kata dia, impor terbesar 2015 di Indonesia dan Jabar khususnya masih pangan, sehingga kedaulatan pangan masih belum tercipta. Impor pangan yang belum tercipta tahun ini baru beras, bawang merah, dan cabe. Sudah ada peningkatan dari tahun lalu namun tetap belum baik sebagai sebuah negara agraris. Oleh karena itu, Aher menargetkan tahun ini bisa ditambah dengan stop buah-buahan melalui perbaikan tata kelola sistem pertanian di Jawa Barat.
"Impor ini tidak sederhana, karena buah-buah sekalipun, kalau yang konsumsi ratusan juta orang, maka buah-buahan menjadi menjadi komoditas yang merugikan devisa. Kalau kita bisa berhemat, kesejahteraan pasti naik," katanya.