REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Permohonan yang masuk ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) selama 2015 mencapai 1.590 atau meningkat 50 persen dari tahun sebelumnya yang hanya 1.076 permohonan. Asal pemohon tersebar di 28 provinsi dengan jenis kasus berbeda.
Permohonannya pun beragam mulai perlindungan fisik, pemenuhan hak prosedural, rehabilitasi medis, psikologis dan psikososial.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengungkapkan, dari 1.590 permohonan, Rapat Paripurna Pimpinan (RPP) memutuskan 1.514 permohonan. Hasilnya, sebanyak 1.102 permohonan diterima, 315 permohonan ditolak, 62 permohonan diberikan rekomendasi, 31 permohonan diberikan santunan dan 4 permohonan ditunda.
“Dari 1.590 permohonan, 1.514 sudah dibahas di RPP,” kata dia di Jakarta, Rabu (30/12).
Menurut Semendawai, dari 1.102 permohonan yang diterima terbagi dalam kasus pelanggaran HAM berat 837 orang, korupsi 43 orang, tindak pidana perdagangan orang sebanyak 49 orang, terorisme 35 orang, kasus kejahatan seksual terhadap anak 25 orang, dan dari tindak pidana umum lainnya sebanyak 113 orang.
(baca: Ini Langkah Kemenhub Antisipasi Kemacetan di Akhir Tahun)
“Khusus pemenuhan hak korban terorisme merupakan hal baru bagi LPSK,” ujar Semendawai.
Pemenuhan hak korban kasus terorisme merupakan amanat yang ditambahkan pada UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Hal ini dikatakan sebagai langkah maju karena pada UU Nomor 13 Tahun 2006 masih sebatas fokus kepada bantuan medis dan psikologis bagi korban pelanggaran HAM berat.
Menurutnya, LPSK merespons amanat itu dengan memberikan pemenuhan hak bagi para korban terorisme yang selama ini bisa dikatakan sedikit terabaikan.
Pemenuhan hak kepada korban terorisme telah diberikan kepada 35 orang yang terdiri dari 28 korban dari kasus bom Bali dan 7 orang korban bom JW Marriott.