Jumat 25 Dec 2015 14:08 WIB

Pilkada dan Hak Anak Kita

Red: M Akbar
Petugas Pemungutan Suara berkostum tokoh wayang Hanoman melayani warga yang menggunakan hak suaranya pada Pilkada Bantul 2015 di TPS 17 Sulang Kidul, Patalan, Jetis Bantul, DI Yogyakarta, Rabu (9/12).
Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko
Petugas Pemungutan Suara berkostum tokoh wayang Hanoman melayani warga yang menggunakan hak suaranya pada Pilkada Bantul 2015 di TPS 17 Sulang Kidul, Patalan, Jetis Bantul, DI Yogyakarta, Rabu (9/12).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syafbrani (Ayah Rumah Tangga, Pemerhati Pendidikan)

Tanggal 9 Desember 2015 telah menjadi rekaman sejarah tersendiri bagi bangsa Indonesia. Ini adalah tanggal untuk kali pertama Indonesia mengadakan proses demokrasi pemilihan kepala daerah serentak.

Meskipun tidak dilaksanakan seluruh daerah di Indonesia, paling tidak pada tanggal tersebut lebih dari 200 daerah sedang melakukan unjuk ‘pertarungan’ merebut kursi empuk kepemimpinan. Baik sebagai gubernur, bupati, atau walikota beserta wakilnya masing-masing.

Dari kaca mata demokrasi, proses ini dipandang sebagai upaya menciptakan demokrasi yang paripurna. Semua berhak berpendapat, semua berhak memberikan hak suara, dan semua berhak beragumentasi tentang pilihan politiknya.

Konon, inilah pesta demokrasi itu. Namun di balik kemeriahan pesta ada satu hal yang sering luput akibat konsentrasi meraih kemenangan. Mereka adalah anak-anak kita. Generasi yang nantinya akan melanjutkan kehidupan demokrasi bangsa ini.

Dimana posisi anak dalam proses demokrasi kita saat ini? Berikut beberapa catatan yang dianggap cukup mengantarkan untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, mungkin karena ketidakdewasaan atau justru karena kedewasaaan itu sendiri, pesta pemilihan langsung sering diwarnai dengan ‘kampanye hitam.’ Seakan kampanye hitam sudah menjadi tren. 

Brutalnya kampanye hitam yang secara kasat mata didefinisikan sebagai upaya menjatuhkan. Akhirnya sampailah ke setiap telinga yang mendengar. Sampailah ke setiap mata yang membaca.

Dan, (bisa jadi) kita ikut menggulirkannya lagi. Sadarkah kalau semua ini juga terekam sempurna oleh anak-anak kita? Pantaskah mereka disalahkan ketika mengartikulasikan demokrasi sebagai upaya saling hujat hanya untuk sebuah ambisi kekuasaan? Artikulasi yang sangat jauh berbeda dari penjelasan di panggung teori sekolah mereka.

Kedua, persis seperti pemilihan presiden beberapa waktu lalu. Walaupun bukan sebagai kandidat, kesibukan demi kesibukan semakin terasa. Bisa jadi karena posisi sebagai panitia penyelenggara dengan segala macam bentuknya atau juga karena sebagai tim sukses. Dua kata terakhir ini juga banyak bentuknya.

Ada yang dibentuk resmi oleh kandidat. Ada juga yang terbentuk dengan sendirinya akibat pilihan politik tadi. Berbagai kegiatan juga bermunculan. Pastinya kegiatan yang melibatkan masyarakat banyak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement