Rabu 23 Dec 2015 22:32 WIB

LBH Apik: Kasus KDRT Dominasi Kekerasan Perempuan

Red: M Akbar
Mahasiswa menggelar kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak. (ilustrasi).
Foto: Antara/Herry Murdy Hermawan
Mahasiswa menggelar kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR --- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) mencatat kekerasan terhadap perempuan didominasi pada kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT.

"Berdasarkan catatan laporan yang masuk sepanjang Januari-Oktober 2015 ada 369 kasus terhadap perempuan dan paling tinggi pada kasus KDRT," ujar Direktur LBH Apik Sulsel Rosmiati Sain kepada wartawan di Makassar, Rabu (23/12).

Ia menyebutkan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan rata-rata terjadi dalam rumah tangga. Dan paling banyak dilakukan oleh orang terdekat seperti suami ataupun anak perempuan tiri diperlakukan tidak adil.

"Laporan yang masuk rata-rata KDRT yang didampingi, kemudian kekerasan seksual dan sejumlah kekerasan lainnya dialami perempuan," ujarnya.

Diketahui untuk jumlah kekerasan terhadap perempuan pada 2014 sebanyak 615 kasus. Kendati ada penurunan di 2015, namun peningkatan kasus KDRT cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.

"Salah satu indikator meningkatkan KDRT berdasarkan laporan yang masuk, besar kemungkinan diberlakukannya peraturan Undang-undang tentang KDRT, sehingga hukumnya mulai dipahami masyarakat, sehingga berani melaporkan kejadian dialami perempuan," beber Rosmiati.

Selain itu berdasarkan kesimpulan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ada 15 jenis yang dimasukkan dalam konsep pengajuan dalam Rancangan Undang-undang tentang penghapusan kekerasan seksual yang terus didorong di DPR untuk disahkan.

Kesimpulan tersebut diklasifikasi terdiri dari pemerkosaan, intimidasi seksual, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, traffiking dengan tujuan eksploitasi seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, dan pemaksaan perkawinan.

Selanjutnya, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi bernuansa seksual, praktek tradisi bernuansa seksual, kontrol seksual termasuk aturan diskriminatif.

"Banyak cara saat ini dilakukan orang-orang dalam melakukan kekerasan terhadap perempuan. Dari hasil kesimpulan Komnas HAM jelas hal itu terjadi di tengah masyarakat, untuk itu kami mendorong agar bila terjadi kekerasan terhadap perempuan segera dilaporkan kami siap melakukan advokasi serta pendampingan," katanya menambahkan.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement