Rabu 23 Dec 2015 10:10 WIB

Tujuh Keprihatinan Perawat Indonesia

Red: M Akbar
Demo menuntut disahkannya UU Keperawatan
Foto:

Kedua, dari segi sertifikasi dan akreditasi. Dewasa ini kata 'sertifikasi plus akreditasi' jadi momok menakutkan. Sampai-sampai mereka yang lulus dari kampus dengan akreditasi di bawah 'B' terancam tidak bisa jadi PNS.

Dari 183 kampus yang menyelenggarakan program S1+Ners, hanya 2 kampus negeri yang terakreditasi A dan satu kampus swasta. Sembilan kampus negeri berstatus B, dan kampus swasta sebanyak 24 buah. Itu berarti hanya 19,6 persen yang terakreditasi A dan B, yang bisa melamar PNS. Sisanya, 80,4 persen masih C, dianggap tidak layak.

Inilah gambaran standar pendidikan kita yang 'rendah' dari sudut pandang akreditasi. Konkretnya, rasio dosen dan mahasiswa keperawatan kita, masih jauh dari harapan Dikti, 1:20.

Bisa dimengerti ketika standar kelulusan uji kompetensi keperawatan tingkat nasional masih minim. Menurut Dikti, dari 1344 kampus yang ada, nilai batas lulusnya 44 untuk Ners, D3 Keperawatan 37.47 dan D3 Kebidanan 40.14 pada tahun 2013 lalu.

Angka kelulusan yang dicapai 63 persen untuk Ners, 67.5 persen Keperawatan dan 53.5 persen untuk Kebidanan. Angka kelulusan kita, tentu masih jauh jika dibandingkan dengan di USA yang 91 persen lolos dengan passing score 75 persen. Belum lagi penguasaan Bahasa Inggris profesi kita yang rendah. Ini sebuah tantangan besar dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Ketiga, dari segi psiko-sosiologis. Jika dirata-rata angka kelulusan untuk ketiga program tersebut, yang lolos Ukom dan berhak memperoleh Surat Tanda Registrasi (STR), hanya 61 persen. Sisanya yang 39 persen harus mengulang, itu bukannya tidak beresiko.

Bagi yang lolos Ukom stress berpikir kerja di mana dan kapan. Lantas yang belum lolos Ukom juga berpikir kapan uji ulang dan siapa yang membantu pembinaannya. Keduanya, punya beban moral yang tidak ringan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement